Nasional

Pujian Hilang, Rugi Lahir Batin! (III-Habis)

NU Online  Ā·  Kamis, 7 Maret 2013 | 07:02 WIB

Penyair yang juga pelukis asal Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor berpendapat bahwa pujian adalah bentuk karya sastra, yaitu puisi.
<>
ā€œPengarangnya adalah penyair, saya yakin itu,ā€ katanya di Pendapa Yayasan LKiS, Yogyakarta, Rabu, (27/2) lalu, selepas peluncuran majalah sastra Surah.

Pengarangnya sadar betul menggunakan bentuk sastra, sementara sastra sangat berpengaruh dalam kehidupan pembaca atau pendengar yang menghayatinya.

Ia juga mengatakan, karena itulah kitab-kitab suci agama meminjam bentuk puisi. Juga nadzoman-nadzoman di pesantren seperti tashrifan dan pembuka di kitab-kitab kuning itu selalu dengan rima yang beraturan.

ā€œKarena kata-kata itu punya kekekuatan. Tapi kata-kata yang tepat dan berirama,ā€ sambungnya.

Dengan cara seperti itu, tanpa disadari sangat berpengaruh terhadap batin dan kepekaan; peka terhadap kata-kata dan peka terhadap kehidupan.Yang tidak bersentuhan dengan sastra itu kelihatan ketika jadi pejabat, wakil rakyat, bahkan ulama, ā€œMereka tidak peka, tidak sensitif, tidak punya malu, yang kelihatan besar serakahnya,ā€ jelasnya.

Penyair yang akrab disapa Kang Acep kuatir, pujian yang biasa dilantunkan sebelum shalat di masjid-masjid itu hilang. Dan itu sudah terbukti. Oleh karena itu, pujian harus tetap dijaga dengan tetap melantunkannya di masjid-masjid.

Penulis: Abdullah Alawi