Anak Adam anjeun hirup di dunya ngumbara (Anak Adam, kamu di dunia itu mengembara)
Anak Adam anjeun di dunya teh moal lila (Anak Adam, di dunia itu kamu tak akan lama)
<>
Bait tersebut adalah pupujian (Sunda) atau pujian (Jawa) berbahasa Sunda yang pernah populer. Pujian tersebut, akrab didendangkan sebelum shalat berjamaah di langgar-langgar.
Menurut budayawan Agus Sunyoto, kebiasaan pujian (ia menyebutnya bersyair) ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masjid-masjid tradisional di kampung. Isinya bervariasi; mulai dari anjuran untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah, hingga menekankan bahwa hidup di dunia ini tidak lama.
Penulis buku Walisongo: Sejarah yang Disingkirkan tersebut, menambahkan, pujian merupakan strategi kebudayaan ulama-ulama zaman dahulu untuk menyampaikan ajaran, sejarah, dan moral. Kemudian dilantunkan di masjid-masjid.
“Misalnya, ketika kecil, saya pernah dijarkan sifat dua puluh. Wujud qidam baqa, mukhalafatul lil-hawadisi qiyamuhu binafsihi wahdinayat qudrat irodat… Saya sama sekali tidak paham sifat dua puluh itu, untuk apa fungsinya, tapi saya hafalkan,” katanya.
Dan luar biasanya, sambung Wakil Ketua PP Lesbumi NU ini, dengan cara seperti itu, sifat-sifat Allah itu ingat sampai sekarang. (liputan NU Online, 16 Februari 2012)
Tapi, belakangan, kebiasaan pujian semakin berkurang. Di Sukabumi misalnya, dulu, hampir sebelum shalat berjamaah dimulai dengan pujian. Sekarang, anak-anak yang biasa melantunkannya, menjadi ahli masbuk.
Kasus yang sama terjadi di Kalibaru, Banyuwangi. Menurut salah seorang tokoh di daerah itu, pujian melimpah pada tahun 70-an. Waktu itu ada seorang tua yang kaya dengan beragam pujian. Tapi ketika ia meninggal, pujian itu dibawa ke kubur, tanpa ada yang mewarisinya. (NU Online, 23 Februari 2013).
Kendati masih tetap ada, tapi selain variasinya berkurang (untuk tidak mengatakan hilang), intensitasnya pun berkurang.
Pengasuh Pesantren Kaliopak Yogyakarta, Muhammad Jadul Maula mengatakan, jika tradisi pujian hilang, akan rugi lahir batin; baik secara individu, maupun komunitas (umat Islam).
Menurutnya, hilangnya pujian, merupakan proses pendangkalan agama. “Ada pendangkalan dalam beragama. Lalu, beragama itu tidak menikmati, tidak gembira, tidak melibatkan rasa, beragama hanya dari akal saja,” katanya di pendapa LKiS, Yogyakarta, Rabu, (27/2) lalu.
Penulis: Abdullah Alawi
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025
3
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
4
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
5
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
6
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua