Puisi, Tari, Hadrah, Warnai Peringatan Resolusi Jihad NU
NU Online · Rabu, 23 Oktober 2013 | 20:00 WIB
Jombang, NU Online
Halaman kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang, Selasa (22/10) malam, tampak lain. Di panggung, Ketua PCNU Jombang KH Isrofil Amar membaca puisi Soneta, sedangkan Wakil Ketua PCNU melantunkan puisi Perjuangan.
<>
Lalu tampil campursari dengan biduan dua orang, disusul penampilan seorang penari remo. Sang penari menggunakan busana tari khas Jombang, yakni busana tari remo. Seni tari ini identik dengan pagelaran besut dan ludruk. Sebelumnya, tampil pula kesenian hadrah dari ISHARI cabang Jombang.
Malam itu, Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU Jombang sedang menggelar parade seni dan budaya khas Jombang. Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati dan memaknai Resolusi Jihad NU yang dicetuskan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari 22 Oktober, 68 tahun silam.
Kegiatan bertajuk Parade Seni dan Budaya tersebut merupakan acara sebelum dilaksanakan "Lokakarya 'Nderes' Seni Budaya Jombangan dengan semangat resolusi jihad".
Tampil sebagai pembicara dalam lokakarya adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH. Sholahuddin Wahid, Ketua PCNU Jombang, KH. Isrofil Amar, serta Ketua ISHARI, H. Nasrun dan Ketua PC Lesbumi, Su'udi Yatmo.
Dalam pandangannya tentang seni dan budaya, Ketua PCNU Jombang, KH. Isrofil Amar, menyatakan, seni merupakan karunia Allah yang perlu dilestarikan. Sedangkan budaya adalah hasil cipta karya manusia yang perlu dijaga dan dirawat sebagai sarana dan media melakukan dakwah.
Hadirnya seni tari remo dan campursari di lingkungan kantor PCNU Jombang menjadi simbol bahwa Nahdlatul Ulama ramah terhadap seni tradisional warisan nenek moyang. Kesenian tradisional tidak perlu dibenci atau malah diberangus. Tentu, lanjut Isrofil Amar, sebagai sarana perjuangan dan dakwah, kesenian tradisional warisan nenek moyang perlu disesuaikan dengan konteks tujuan dakwah.
Menurut Dosen UNIPDU Peterongan Jombang ini, kesenian tradisional yang menjadi salah satu kekayaan bangsa Indonesia, seperti tari remo, campursari dan sejumlah seni tradisional lainnya bisa dijadikan sarana untuk melakukan dakwah. "Tari remo sebagai seni tradisional bisa dirawat untuk dijadikan sarana perjuangan dan dakwah. Daripada diambil orang lain yang justru bisa merusak," katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH. Sholahuddin Wahid menyatakan, seni memiliki makna universal. Kesenian memiliki jangkuan yang luas untuk memasuki sendi-sendi kehidupan. Dengan seni, proses dakwah yang rahmatan lil alamin bisa dilakukan.
Pada konteks perjuangan dan dakwah, dia menyatakan kelompok muda NU bahkan perlu didorong untuk menghasilkan karya yang baik pada bidang seni. "Kedepannya kawan-kawan muda NU perlu membuat karya yang baik," katanya.
Mengajak kaum Muda NU untuk berkarya dalam bidang seni, ujar Gus Sholah, bukan langkah yang mudah. Namun, lanjut dia, upaya itu harus terus dicoba dan dilakukan. "Memang tidak mudah terjun ke kesenian. Di (pondok) Tebuireng sendiri saya juga masih kesulitan. Tetapi kita tidak perlu putus asa untuk mendorong agar generasi muda mau terjun ke kesenian," tandas mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini. (Syaifullah/Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua