Nasional

Psikolog: Healing Bukan Rekreasi, tapi Proses Menstabilkan Emosi

NU Online  ·  Sabtu, 31 Mei 2025 | 07:00 WIB

Psikolog: Healing Bukan Rekreasi, tapi Proses Menstabilkan Emosi

Ilustrasi healing. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Psikolog klinis Nia Pramita Yusuf mengungkapkan bahwa healing dalam psikologi adalah proses menenangkan jiwa, bukan sekadar pergi keluar atau berlibur. Ia menegaskan, healing yang berhasil adalah ketika jiwa kembali bersih, emosi kembali netral, dan perasaan sudah membaik.


Healing dalam psikologi itu menentramkan jiwa bukan pergi keluar (rekreasi). Jadi kalau cuma rekreasi itu belum healing,” ungkapnya dalam Bincang Bareng Lakpesdam bertema Ramai-ramai Healing: Apa Kita Lagi Lelah Kolektif? yang disiarkan melalui siaran langsung Instagram Lakpesdam PBNU, Jumat (30/5/2025).


Nia menjelaskan bahwa fenomena kelelahan kolektif disebabkan oleh burnout (stres berkepanjangan), hustle culture (budaya kerja keras tanpa henti), dan keinginan untuk sejenak lari dari masalah.


“Kita ini memang sudah mengalami kelelahan, tapi kolektif. Jadi, kelelahan berjamaah. Fenomena kelelahan kolektif ini membuktikan bahwa ada yang berubah dari cara kita bekerja, cara kita hidup. Oleh karena itu, penting untuk evaluasi gaya hidup yang kita jalani,” jelasnya.


Ia menyebut hustle culture sebagai budaya yang memuja kerja tanpa henti, yang berdampak pada kelelahan fisik dan mental.


Hustle culture (budaya kerja keras tanpa henti) yaitu orang yang memuja bekerja keras pagi siang sore malam dan menganggap istirahat sebagai kelemahan sehingga menimbulkan rasa bersalah,” katanya.


Lebih lanjut, Nia menyinggung fenomena keinginan untuk ‘lari sejenak’ saat seseorang berada dalam tekanan terus-menerus, seperti dengan liburan mendadak tanpa perencanaan atau menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling media sosial.


“Kemudian fenomena keinginan lari sejenak disaat sakit atau mendapatkan tekanan terus-menerus kemudian lari atau liburan mendadak tanpa planning, resign impulsif, menyendiri, mengisolasi diri dari lingkungan sosial, menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial padahal scrolling di media sosial berjam-jam mengakibatkan otak kita kurang memfilter informasi,” paparnya.


Ia juga mengingatkan agar tidak memaksakan diri untuk rekreasi dengan berutang, karena hal itu justru bisa menimbulkan beban tambahan sepulang rekreasi.


Healing, kata Nia, merupakan respons tubuh dan pikiran untuk bertahan. Namun, tidak semua bentuk healing benar-benar menyembuhkan atau berdampak jangka panjang.


“Kalau kita pengen refreshing, pengen jalan-jalan tetapi dengan cara berutang, saran saya jangan karena setelah kita rekreasi kita mendapatkan kesenangan sesaat, pulangnya kita akan merangkai bagaimana saya mencicil. Akhirnya yang terjadi adalah buka tutup lubang hutang,” tuntasnya.