Nasional

Prof Oman: Perlu Riset Saintifik terhadap Manuskrip Nusantara

NU Online  ·  Rabu, 2 Mei 2018 | 11:30 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam perkembangan dunia manuskrip, ada perkembangan menarik. Apalagi Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Balitbang Diklat Kemenag hendak merumuskan berdirinya Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan. Oleh karena itu, perlu riset saintifik terhadap manuskrip Nusantara.

Hal tersebut dikatakan guru besar filologi UIN Jakarta, Prof Dr Oman Fathurahman saat berbicara sebagai narasumber ahli pada Pembahasan Desain Operasional (DO) Bensmarking Khazanah Keagamaan yang digelar di Hotel Takes Mansion Jl Taman Kebon Sirih I No 3-4 Jakarta, Senin (30/4).

“Jadi, ini bukan pusat preservasi manuskrip, tapi pusat kajian atau riset. Riset yang menjadi konsen kita, bukan konservasinya. Perkembangan riset manuskrip dulunya sangat fokus kepada teks. Sekarang lebih saintifik. Kalau infrastrukturnya memungkinkan, riset saintifik terhadap manuskrip harus kita miliki. Nah, di DO ini aspek tentang saintific research of manuscript cultures belum bunyi,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi ini kemudian mencontohkan dua hal. Pertama, tentang teknologi maltispectral imaging yang dipamerkan di Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Hamburg, Jerman.

“Jadi, kira-kira kerjanya itu misalnya ada manuskrip kuno yang sudah ribuan tahun lalu difoto. Fotonya itu menghasilkan dalam satu soft itu ada setidaknya 19 foto dengan sinar X dan macam-macam. Dengan teknologi tersebut, di satu sisi cahaya yang masuk bisa menghilangkan teks yang ada, tapi pada saat yang sama bisa memunculkan teks yang sudah tidak ada,” ungkapnya.

Jadi, lanjut Oman, contoh yang dipraktikkan pekan lalu, ada satu halaman manuskrip tentang musik yang ditulis pada abad ke-10 itu sudah rusak. Hanya tersisa sedikit di sebelah kirinya. Lalu difoto. Proses pemotretan sekitar satu menit di ruangan gelap.

“Yang tertinggal dalam teks itu, yang kasat mata kelihatan hanya syair atau liriknya saja. Begitu dihasilkan melalui teknologi tersebut, note yang belum pernah dibuat itu muncul notasinya. Canggih sekali kan,” tuturnya.

Dalam ilmu filologi, kata Oman, dikenal istilah palimpsest. Yakni teks yang pernah dihapus itu bisa dimunculkan kembali. Dihapus saat itu karena kertas sangat mahal. Sementara ada kebutuhan untuk menulis yang lain. “Hasilnya, si lirik tadi bisa dinyanyikan karena notasinya ketemu dan sudah dinyanyikan. Jadi, setelah ribuan tahun notasinya mati, kini dibangkitkan lagi,” tandasnya.  

Peneliti senior PPIM UIN Jakarta ini berharap, meski kita masih jauh dari teknologi tersebut, para peneliti LKKMO memunculkan ide tersebut dalam naskah akademik. “Jadi, Puslitbang ini tidak hanya fokus kepada tahqiq dan tadqiq terhadap naskah. Tapi orientasi kita juga mempersiapkan riset saintifik terhadap manuskrip. Yang kedua, teknologi transformasi. Manuskripnya difoto lalu didiagnosa, lalu gambarnya langsung bertransformasi menjadi teks,” jelas Oman. (Musthofa Asrori/Ibnu Nawawi)