Nasional

Polemik Penghapusan UN, Pakar Pendidikan: Evaluasi Harus Komprehensif

Jum, 13 Desember 2019 | 12:30 WIB

Polemik Penghapusan UN, Pakar Pendidikan: Evaluasi Harus Komprehensif

Pakar Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Zuhdi.

Jakarta, NU Online
Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan menghapus Ujian Nasional (UN) pada 2021 mendatang menuai dukungan dan penolakan. Hal itu menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat beberapa waktu ini.

Pakar pendidikan Muhammad Zuhdi melihat bahwa evaluasi terhadap hasil pendidikan siswa merupakan hal penting yang tidak bisa dinafikan. Namun, hal itu harus dilaksanakan oleh lembaga pendidikan secara komprehensif. 

“Ujian atau evaluasi tetap penting, tetapi bagaimana ia dilakukan secara komprehensif,” katanya kepada NU Online pada Jumat (13/12).

Pasalnya, ia memandang bahwa kecerdasan yang selama ini diukur lewat UN tidak cukup sebagai modal hidup manusia sekarang ini. Walaupun begitu harus dilengkapi dengan berbagai aspek lain yang mendukung kehidupan siswa di masa mendatang.

“Harus dilengkapi dengan kemandirian, kejujuran, kreativitas, kerjasama atau konektivitas dan kemauan untuk terus belajar,” ujar Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Dari hal tersebut, hal yang selanjutnya perlu dirumuskan adalah mekanisme pengukuran kompetensi yang telah disebutkan di atas yang tidak cukup jika dievaluasi melalui UN saja. “Nah, diperlukan sebuah mekanisme yang dapat mengukur kompetensi-kompetensi tersebut,” katanya.

Kemendikbud RI bakal mengganti UN dengan Asesmen Kompetensi Minumum dan Survei Karakter pada 2021 mendatang. Mendengar hal tersebut, Zuhdi belum bisa memberikan pandangannya karena sebelum mengetahui isi dan mekanismenya. Namun, ia melihat hal tersebut sebagai suatu langkah positif. 

“Tapi saya berpandangan positif bahwa kedua mekanisme tersebut akan dipersiapkan dengan baik,” katanya.

Meskipun evaluasi di akhir masa pendidikan juga menilai aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai bagian dari standar kelulusan melalui peran sekolah. Akan tetapi, UN sudah terlanjur menjadi momok yang menakutkan bagi siswa dan sekolah sehingga memaksa mereka menaruh perhatian lebih dibandingkan yang lain. 

“Padahal, sekolah sejatinya harus membentuk pribadi siswa secara utuh. Tetapi kenyatannya kan tidak demikian. Kognitif mendapat porsi yang dominan,” katanya. Padahal, aspek afektif dan psikomotor jelas penting karena membuat hal-hal yang dipelajari dan dipahami secara kognitif menjadi bermakna.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Muchlishon