Nasional

Pilpres 2024, Ke Mana Suara Kaum Santri dan Abangan Bakal Berlabuh?

Kam, 13 Juli 2023 | 18:00 WIB

Pilpres 2024, Ke Mana Suara Kaum Santri dan Abangan Bakal Berlabuh?

Ilustrasi pemilihan umum. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei untuk mengetahui pengaruh warga Muslim yang beretnik Jawa di dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Di dalam survei ini, SMRC menggunakan konsep yang digunakan antropolog Clifford Geertz yakni membagi Muslim Jawa ke dalam tiga kategori yaitu santri, abangan, dan priayi. 


Pendiri SMRC Saiful Mujani mengatakan bahwa konsep santri, abangan, dan priayi merupakan konsep antropologis. Sebuah penafsiran dari Clifford Geertz terhadap gejala keagamaan Muslim di Jawa kala itu. 


Lalu apakah santri, abangan, dan priayi itu penting secara elektoral atau politik dalam Pilpres 2024 mendatang? Ke mana suara mereka akan berlabuh? 


SMRC melakukan survei pada Maret 2023 dengan menanyakan status kategori berdasar trikotomi Clifford Geertz itu (santri, abangan, priayi) kepada masyarakat Muslim Jawa, baik mereka yang tinggal di Pulau Jawa maupun di luar Jawa seperti Sumatra dan Sulawesi. Responden survei SMRC ini adalah warga yang menganggap dirinya sebagai orang Jawa dan Muslim.  


Saiful mengungkapkan, jumlah orang Jawa dari total penduduk seluruh Indonesia adalah sebesar 40 persen dan hampir 90 persen orang Jawa beragama Islam. Sementara survei terakhir SMRC mencatat ada 52,4 persen Muslim Jawa yang mengaku sebagai santri.


“Kita melihat Muslim yang beretnik Jawa itu dalam studi kita terakhir ini adalah 52,4 persen, yang mengaku dirinya abangan 22,3 persen, yang priayi hanya 1,4 persen. Ada yang tidak bisa menyebut dirinya priayi, santri, atau abangan sebanyak 23,9 persen,” kata Saiful Mujani dikutip NU Online dari SMRC TV pada Kamis (13/7/2023)


SMRC kembali bertanya kepada 52,4 persen Muslim Jawa yang mengaku santri itu tentang kecenderungan dukungan suara kepada para bakal calon presiden 2024. Hasilnya 15 persen mengaku memilih Anies Baswedan, 60 persen untuk Ganjar Pranowo, dan 20 persen mendukung Prabowo Subianto. Sementara 5 persen lainnya tidak menjawab. 


Lalu untuk 22,3 persen suara abangan, 14 persen di antaranya memilih Anies Baswedan, 58 persen ke Ganjar Pranowo, dan 11 persen untuk Prabowo Subianto. Sebanyak 16 persen responden tak menjawab atau tidak tahu. 


Kemudian jumlah priayi yang 1,4 persen itu 19 persen di antaranya berlabuh ke Anies Baswedan, 59 persen untuk Ganjar Pranowo, dan tidak ada yang memilih Prabowo Subianto alias 0 persen. Orang yang tidak menjawab dan tidak tahu sebanyak 22 persen. 


Santrinisasi secara kultural 

Saiful mengatakan, jumlah santri saat ini cukup besar di Indonesia. Padahal, pada sekitar tahun 1940-1950, masyarakat Jawa didominasi oleh kaum abangan. Salah satu buktinya adalah karena partai paling besar adalah PNI dan PKI di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Masyumi besar di wilayah Jawa Barat dan luar Pulau Jawa, termasuk Sumatra.


“Kalau (kaum abangan) besar waktu itu dan sekarang kita menemukan hanya 1,4 untuk priayi dan abangan 22,3 berarti terjadi penurunan. Terjadi santrinisasi di Jawa,” ucap Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Saiful menduga, jumlah abangan terjadi penurunan karena pada zaman orde baru, orang Jawa dipaksa untuk memilih salah satu agama resmi negara. Misalnya, harus memastikan bahwa di KTP tercantum agama Islam. Selain itu karena abangan dianggap identik dengan PKI, sedangkan pada zaman orde baru PKI menjadi organisasi politik yang dilarang. 


“Oleh karena itu terjadi perubahan. Orang berpindah mengaku dirinya bagian dari komunitas santri, dan mungkin banyak melakukan praktik-praktik keagamaan santri di kalangan Muslim Jawa ini. Abangan dan priayi itu besar tapi sekarang tinggal 23 persen. Karena yang mengaku dirinya santri itu menjadi mayoritas,” jelasnya. 


Partai Nasionalis lebih banyak 

Saat ini, partai politik yang mengklaim berhaluan nasionalis pun semakin banyak. Sementara hanya ada dua partai politik yang secara eksplisit mengklaim sebagai partai Islam yakni PKS dan PPP. Namun suara kedua partai ini apabila dijumlah tidak lebih dari 13 persen. Sementara suara Partai Masyumi dan Partai NU, ketika itu, mencapai hampir 40 persen. 


“Santrinisasi terjadi secara kultural dan sosial tapi secara politik tidak. Secara politik, bukan politik santri. Politiknya bukan seperti Masyumi dengan kekuatan 20 persen dan NU 18 persen. Itu saja sudah 38. Sekarang PKS dan PPP cuma 13 persen. Artinya, dilihat secara kultural keagamaan, orang semakin santri di Jawa ini. Tapi soal politik, beda lagi,” katanya.


Saiful menegaskan bahwa santrinisasi di Indonesia telah terjadi secara kultural dan sosial, tetapi tidak secara politik. Ia bahkan menyebut, saat ini terjadi sekularisasi politik yakni melakukan pemisahan antara wilayah politik dan agama. 
 

“Orang kalau memperjuangkan kepentingan publik bicara lebih inklusif tidak eksklusif untuk kepentingan agama tertentu, tapi kepentingan warga negara. Kalau pergi ke masjid lain lagi, nggak mesti dipaksa. Jadi santrinisasi itu tidak identik dengan politisasi atau santrinisasi politik,” pungkas Saiful Mujani. 


Pewarta: Aru Lego Triono