Nasional

Pidato Lengkap Gus Yahya di Simposium Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Rab, 29 November 2023 | 08:00 WIB

Pidato Lengkap Gus Yahya di Simposium Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat memberikan sambutan pada simposium PTNU di Jakarta, Selasa (28/11/2023). (Foto: Rohman Dwi Aji Prabowo).

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf didaulat memberi pidato sambutan sekaligus arahan dalam Simposium Nasional Digitalisasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) yang digelar di Mercure Hotel, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (28/11/2023). 


Gus Yahya, sapaan akrabnya, setidaknya memberi tiga arahan penting dalam kesempatan ini, yaitu tentang paradigma baru pendidikan NU, transformasi teknologi digital di lingkungan pendidikan NU, serta meritokrasi (sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial, KBBI) yang perlu diterapkan di PTNU. Berikut adalah transkrip pidato lengkap Gus Yahya.


***

Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Pak Nadiem Anwar Makarim; Wakil Menteri Agama, Pak Saiful Rahmat Dasuki. Yang saya hormati, para pengurus pimpinan PBNU yang hadir; Wakil Ketua Umum Pak Nizar Ali, Ketua Pak Muhammad ‘Rektor’ Mukri, Wakil Sekjen Pak Imron Hamid, dan sejumlah pengerus lain – baik dari lembaga peran tinggi NU maupun dari Ma’arif dan lembaga-lembaga yang lain – yang hadir. Yang saya hormati, para pejabat pemerintahan yang hadir – baik dari sipil, TNI Polri – para rektor, pemangku perguruan tinggi, para sesepuh. Ini ada sesepuh yang penting sekali ini, KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem) dari Pesantren Rejoso Jombang. Ini mentor saya, Pak Menteri. Jadi saya bisa begini ini, karena beliau. Kalau saya saja begini, apalagi beliau. 


Membangun paradigma baru pendidikan NU

Hadirin sekalian yang saya hormati, Bapak Ibu.

Saya sebetulnya sudah agak lama curiga. Di NU ini – tadi Pak Menteri sudah menyebut – ada hampir 300-an perguruan tinggi di lingkungan NU, dan saya sudah sejak sekitar tahun 2020-an itu berkeliling melihat satu-satu perguruan tinggi-perguruan tinggi ini, sampai sekarang. Dan yang yang paling mula-mula saya dapatkan dari melihat perguruan-perguruan tinggi NU itu adalah pusing. Sampai-sampai saya curiga: jangan-jangan orang-orang NU ini mendirikan perguruan tinggi ini cuma karena ngiler saja, melihat yang lain-lain punya perguruan tinggi, lalu kepengin ikut-ikutan punya. Sementara anak-anak yang masuk, mahasiswa-mahasiswanya juga, jangan-jangan juga karena ngiler juga, yang lain-lain bisa sarjana, lalu kepengin ikut jadi sarjana juga. Tapi satu hal yang fundamental sekali yang saya sendiri masih belum mendapatkan suatu kesimpulan: saya melihat bahwa ketika perguruan tinggi-perguruan tinggi ini berkembang, bahkan berkecambah di lingkungan NU. Ini mulainya sekitar tahun 1980-an.


Sebetulnya ada satu masalah fundamental yang belum terselesaikan sampai hari ini, yaitu mengenai paradigma perguruan tinggi di lingkungan NU itu sendiri. Ada semacam kesadaran tentang jarak antara tradisi pendidikan dengan tuntutan yang muncul dari perkembangan zaman terkait dengan pendidikan tinggi ini. Tetapi, titik temunya di mana? Ini, sampai sekarang, belum bisa diidentifikasi, apalagi dirumuskan dengan baik. Karena secara tradisional, pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, pendidikan di lingkungan pesantren – kalau tadi disebut ada 4C, ada 6C – paradigma di pendidikan pesantren itu sebetulnya dasarnya itu cuma satu, satu K: keramat. Jadi, pendidikan pesantren nomor satu yang penting keramat dulu, yang lain-lain nanti menyusul. Soal pengetahuan kognitif dan lain-lain itu nanti. Nanti akan mendapatkan landasan untuk berkembang, kalau keramatnya dapat. 


Kemudian, tiba-tiba di tengah perubahan zaman ini kita punya kebutuhan untuk mengembangkan macam-macam kapasitas knowledge, kapasitas pengetahuan kognitif yang begitu luas yang harus dikejar, sehingga kemudian kalangan NU juga berpikir bagaimana mengejar tuntutan penguasaan pengetahuan-pengetahuan kognitif secara lebih cepat, lebih progresif. 


Cuma lalu kalau itu dikejar, ini keramatnya ikut apa tidak? Ini sampai sekarang belum ketemu. Karena mengembangkan sistem atau model pendidikan yang canggih seperti perguruan tinggi  itu jelas-jelas berbiaya tinggi, sedangkan keramat itu dasarnya orang harus tirakat, harus kuat. Ini yang repot. Jadi, kayak Rejoso (Jombang) sekarang itu masih keramat apa tidak? Itu saya juga pusing, karena sudah jadi canggih begitu. Ini keramatnya ikut apa tidak? Ini belum ketemu sampai sekarang. Ada yang karena tidak mau melepaskan keramatnya itu sampai zuhud sedemikian rupa, sehingga 10 tahun - 15 tahun mahasiswanya cuma 70 orang. Itu dibetah-betahkan saja. Itu ada. Mungkin karena ingin mempertahankan keramatnya itu. 


Saya kira ini perlu dipikirkan, kalau perlu diversifikasi: ada yang bagian keramat, ada yang bagian canggih, dipisah, supaya tidak hilang dua-duanya. Karena kita kemudian juga berhadapan dengan tantangan perubahan-perubahan, yang juga menuntut perubahan-perubahan di dalam sistem pendidikan kita secara keseluruhan. Banyak hal yang dulunya menjadi praktik yang mapan, sekarang sudah tidak bisa, sudah tidak jalan lagi. Itu banyak.


Dulu itu ada filsuf Amerika, Thomas Kuhn, namanya, dari Universitas Chicago. Dia menulis dan menerbitkan buku tahun 1962, judulnya The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu dia menggambarkan bahwa sistem sains, sistem ilmu pengetahuan, itu di dalamnya terdapat satu struktur, di bagian paling hilir dari struktur itu adalah teknologi. Teknologi ini dibangun atas dasar teori-teori. Pada satu titik, karena perubahan hajat hidup manusia, –makanya ini penting tadi pelajaran dari Pak Menteri ini – mulai dari apa yang dihajatkan, yang dianggap paling sulit, karena ini yang menjadi penuntun dari perubahan-perubahan. Karena perubahan dalam hajat hidup manusia banyak teknologi yang lalu sudah tidak bisa dipakai lagi.


Dulu itu saya ingat, saya masih mengalami, bisa punya radio itu sudah luar biasa. Dulu, tahun 1960-an, 1970-an. Sekarang, hari ini, semakin jarang orang mendengarkan radio, televisi juga sekarang mulai makin jarang, digantikan oleh teknologi-teknologi yang lebih baru. Nanti pada satu tingkat yang lebih mendasar, teori itu sendiri tidak bisa jalan. Sekarang teori fisika Newton itu saja sudah mulai mentok-mentok, sehingga orang mencari landasan teori-teori baru. Lebih lanjut lagi itu sampai paradigmanya bisa tidak jalan, sehingga orang harus membangun paradigma baru. Ini semua saya kira harus menjadi landasan pemikiran kita para pemikir-pemikir pendidikan ini tentang bagaimana kita membangun pendidikan di masa depan.


Transformasi teknologi digital

Saya setuju dengan Pak Menteri, bahwa teknologi – dalam hal ini khususnya teknologi digital – itu memang luar biasa penting, karena dengan teknologi digital ini kita bisa membangun sistem secara lebih terukur dan lebih sistematis. Tetapi pada saat yang sama, teknologi ini memungkinkan kita untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan dengan cepat, karena basisnya teknologi.


Maka saya senang kalau ini ada inisiatif transformasi digital di lingkungan perguruan tinggi NU ini, karena setelah berkembangnya sedemikian banyak perguruan tinggi di lingkungan NU ini, tiba-tiba kita menyadari: kita belum punya sistem. Jadi, ini seperti padi yang tumbuh di sembarang tempat, tanpa ada kaitan satu dengan yang lain. Makanya saya bilang, saya ketemunya ketika melihat perguruan tinggi NU itu ketemunya pusing, itu karena tidak ada sistemnya. 


Saya sejak awal sudah minta kepada Pak Mukri, kepada Pak Ainun, Pak Nizar, dan lain-lain, saya mau ada sistem di lingkungan perguruan tinggi NU. Bagaimana caranya, saya sendiri tidak tahu. Saya kuliah saja DO, jadi saya tidak tahu bagaimana membikin sistemnya. Tapi saya ingin ada sistem dan harus diciptakan sistem itu, dan saya kira tepat kalau pakai teknologi.


Tadi saya sudah belajar dari Pak Nadiem juga, ketika beliau menyampaikan kepada saya: lebih mudah mengatur manusia dengan teknologi, daripada dengan sekadar komunikasi manual. Saya percaya Pak Nadiem, karena beliau memang ahlinya. 


Saya mau terus terang, terang-terangan saja, saya ingin mengekspresikan apresiasi saya kepada Pak Presiden Joko Widodo. Dulu ketika Pak Jokowi menunjuk Pak Nadiem Makarim mejadi menteri, banyak orang rebut: kok Nadiem Makarim? Pak Nadiem ini kan tidak punya track record jadi rektor, kayak Muhammad ‘Rektor’ Mukri ini, – yang sudah dilantik jadi rektor sampai lima kali – kok jadi menteri pendidikan. Orang tidak ada yang mengerti. Hari-hari ini kita baru tahu, bahwa maksudnya adalah bagaimana membangun sistem, merangkai sistem, merangkai kehidupan pendidikan nasional Indonesia ini dalam satu sistem, yang backbondnya, tulang punggungnya, adalah teknologi digital. Dan Pak Nadiem ini leading actor dalam digital bisnis di Indonesia. Tidak ada orang lebih tahu tentang itu dari Pak Nadiem. Saya kira ini pertimbangan Pak Presiden Jokowi memilih Pak Nadiem menjadi menteri pendidikan. Memang ada sejumlah hal terkait gagasan Pak Jokowi ini yang buat sebagian orang, atau mungkin banyak orang, kedengaran aneh. Tapi sebetulnya, di dalamnya ada pertimbangan-pertimbangan yang luar biasa strategis.


Soal IKN, misalnya, sampai sekarang banyak yang masih terang-terangan tidak mau. “Kalau menang, enggak akan pindah,” misalnya, ada yang begitu, kan? Karena masih belum mengerti. Padahal kalau dipikir, ini luar biasa strategis. Sekarang saya mau bicara sedikit soal ini, mohon izin.


Kita lihat sekarang, dalam soal pertahanan keamanan. Indonesia ini nyaris seluas Eropa, dengan geografi berpulau-pulau sedemikian rupa. Tidak mungkin memelihara keamanan Indonesia ini, dan membangun pertahanan yang andal untuk mempertahankan negara ini, kecuali dengan sistem yang terpusat, tidak mungkin. Di mana-mana di seluruh dunia itu yang namanya pertahanan dan keamanan itu dikendalikan dari satu central security system. Dan membangun sistem security yang terpusat itu butuh infrastruktur besar-besaran. Ini tanya dari Kodam, tahu betul, butuh infrastruktur besar-besaran. Dan infrastruktur itu tidak boleh jauh-jauh dari ibu kota, karena kontrol utamanya harus dari kepala negara, kepala pemerintahan. Nah, kalau di Jakarta, mau di taruh di mana? Ini tanya dari Kodam, Pak Yunus, tidak ada tempat lagi Jakarta, mau ditaruh di mana? Apalagi di Jakarta, di Jawa mau ditaruh di mana? Ini infrastruktur besar-besaran, tidak ada lagi tempat. Padahal kalau tidak dibangun itu, kita tidak akan pernah punya kapasitas yang dibutuhkan untuk mempertahankan negara ini dari serangan manapun, tidak mungkin. Maka harus dari tempat yang memungkinkan untuk membangun infrastruktur pertahanan. 


Nah, tempatnya di mana? Ini yang luar biasa lagi. Dipilih Kalimantan dan Kalimantan Timur. Kenapa? Karena Kalimantan itu, di situlah perbatasan darat kita yang paling panjang. Dan di Kalimantan itu menjadi tempat ekstraksi sumber daya alam yang paling besar di seluruh Indonesia. Itu wilayah ekstraksi sumber daya alam yang terbesar. Jadi di situ itu masih leluasa space, ruang untuk membangun pusat kendali pertahanan keamanan. Ditempatkan di Kalimantan Timur, kenapa bukan di Kalimantan Tengah? Kalimantan Timur, karena bisa dekat, bisa membangun fasilitas Pelabuhan – baik itu pelabuhan bisnis maupun pelabuhan pertahanan keamanan – karena dekat dengan pantai. Dan sekaligus ini bisa menjadi pusat kendali untuk melakukan surveilance terhadap kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Ini luar biasa.

 
Saya sampai mikir, kebijakan semacam ini biasanya di tempat-tempat lain di mana pun, itu harusnya merupakan produk dari think-tank besar. Kebijakan untuk pindah ibu kota, itu pertimbangannya itu kalau tidak dengan studi yang ekstensif itu biasanya tidak berani ambil putusan. Kemudian pindahnya ke mana di Indonesia, itu juga harus studi ekstensif juga, harus think-tank think-tank besar. Saya tidak tahu, mungkin Pak Nadiem tahu, think-tanknya Pak Jokowi ini mana? Saya sampai curiga: jangan-jangan Pak Jokowi dapat wangsit. Ini adalah kebijakan sangat strategis yang memang dibutuhkan, menjadi hajat dari bangsa dan negara, dan lain-lain. Ini termasuk juga soal digitalisasi sistem pendidikan, sebagaimana yang sekarang dipimpin oleh Pak Nadiem ini.


Ini, Bapak Ibu sekalian, adalah inisiatif-inisiatif yang memang harus kita ikuti arahnya, tidak ada pilihan lain. Kita memang mau, harus ikut arah ini. Sekarang saya itu justru resah: inisiatif-inisiatif strategis ini nanti bisa terus apa tidak? Karena ini yang dibutuhkan. Jangan sampai ini rusak hanya gara-gara kepentingan-kepentingan sesaat.


Pak Nadiem tadi mengatakan bahwa lebih mudah mengatur orang banyak itu dengan teknologi. Ini pelajaran penting sekali. Saya minta ini diingat juga oleh teman-teman sekalian. Tapi teknologi itu kan tetap butuh manusia, karena harus manusia yang mengoperasikan teknologi itu. 


Meritokrasi di PTNU

Nah, yang kita butuhkan sekarang adalah bagaimana kita menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. Prinsipnya jelaslah: tausidul amri ila ahlihi, itu harus. Untuk mengukur siapa yang tepat di tempat yang tepat, itu butuh meritokrasi, tidak bisa asal-asalan. Tidak bisa asal kenal ketua umum lalu bisa jadi ini itu. Tidak boleh begitu. Harus ada ukurannya, dan kita sudah dituntun dengan itu. 


Ayat yang dibaca tadi itu: Yā ayyuhallażīna āmanū iżā qīla lakum tafassaḥụ fil-majālisi fafsaḥụ yafsaḥillāhu lakum, wa iżā qīlansyuzụ fansyuzụ. Nah, kalau itu dilakukan, (maka) yarfa'illāhullażīna āmanụ mingkum wallażīna ụtul-'ilma darajāt… (QS. Al-Mujadalah: 11). Ini sebenarnya ayat tentang meritokrasi. Cuma di pondok-pondok itu kalau muludan atau haul biasanya dipotong, cuma ditulis yarfa'illāh-nya saja, tidak tahu depannya apa. Nah, ini itu agak mengacukan pemahaman sebetulnya, karena Qur'an itu memang begitu. Jadi kita memotong ayat itu harus pas, kalau tidak bisa bingung orang, memaknainya bisa bingung itu. Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ (QS. Al-Hujurat: 13), itu motongnya harus pas. Kalau tidak pas: innā khalaqnākum min żakar, itu repot. Nanti bingung orang memahami. 


Nah, ini ayat ayat tentang meritokrasi: iżā qīla lakum tafassaḥụ fil-majālisi fafsaḥụ yafsaḥillāhu lakum, wa iżā qīlansyuzụ fansyuzụ (QS. Al-Mujadalah: 11). Artinya apa? Kita ini harus disiplin di dalam berorganisasi. Kalau perintahnya perluas lingkaran, ya harus semuanya bergerak untuk memperluas lingkaran. Kalau komandonya itu perketat konsolidasi, ya harus diketatkan. Wa iżā qīlansyuzụ fansyuzụ. Kalau itu dilakukan, disiplin organisasi itu dilakukan, baru nanti kelihatan. Allażīna āmanụ mingkum. Iman itu apa? Iman itu dedikasi. Ilmu itu apa? Ilmu itu kapasitas. Di situ nanti kelihatan siapa yang dedikasinya lebih tinggi, siapa kapasitasnya lebih tinggi. Nah, yang kelihatan itu nanti yang akan mendapatkan, yang akan diangkat derajatnya untuk menempati posisi-posisi yang lebih tinggi dan mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat. 


Maka ini saya minta dijadikan prinsip di dalam membangun agenda pengembangan perguruan tinggi-perguruan tinggi di lingkungan NU ini. Jadi yang pertama adalah asas memenuhi hajat. Jangan cuma karena kepengin punya, hajatnya itu loh apa? Karen seperti dibilang Pak Nadiem tadi, kalau cuma punya ternyata tidak ada hajat, jadi tidak berguna. Ini yang pertama. Yang kedua, supaya semuanya ini dimasukkan ke dalam satu sistem, sehingga bisa saling tunjang satu sama lain. Kalau sendiri-sendiri, itu mau berkembang itu pasti payah. Sudah, ini pelajaran teman kanak-kanak lah: namanya biting itu kalau sendiri-sendiri mudah patah, kalau digendel jadi susah. Saya minta ini menjadi agenda utama. Kalau kita bisa membangun basisnya sejak sekarang, dengan desain yang valid, dan dengan starting point yang benar. 


Ini saya disuruh kick off tadi itu, ini saya harus dijamin, saya tidak tahu siapa yang jamin, bahwa ini starting point-nya benar. Awas kalau tidak benar ini, sudah kadung kick off kok tidak benar repot ini. Itu starting point-nya harus benar, supaya ke depan itu bisa terus berkembang. 


Saya ini tidak tahu matinya kapan. Saya tidak tahu kalau habis periode nanti cabang-cabang masih mau milih saya apa tidak. Tapi saya mau, semua yang dimulai pada periode ini tidak boleh tidak diteruskan oleh siapa pun yang nanti akan memegang keputusan kebijakan.


Demikian, saya kira. Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.

Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.