Nasional

Pernyataan Sikap Jaringan Gusdurian soal Humor Gus Dur yang Dipolisikan

Jum, 19 Juni 2020 | 03:00 WIB

Pernyataan Sikap Jaringan Gusdurian soal Humor Gus Dur yang Dipolisikan

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Baru-baru ini seorang warga Kepulauan Sula bernama Ismail Ahmad, Maluku Utara, diperiksa oleh kepolisian setempat karena mengunggah humor yang pernah disampaikan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Humor tersebut diunggah menggunakan platform Facebook dengan akun Mail Sulla yang dikelola oleh Ismail Ahmad pada Jumat, 12 Juni 2020. Kabar terbaru, Kapolda Maluku Utara Irjen Pol Rikwanto telah melayangkan teguran kepada Polres Sula. Kapolda menyatakan, penindakan terhadap sebuah humor kurang tepat.


Gus Dur merupakan Presiden Republik Indonesia keempat yang biasa menyampaikan kritik melalui lelucon. Humor ‘tiga polisi jujur’ adalah salah satu yang paling terkenal. Dalam humor tersebut, Gus Dur menyebut hanya ada tiga polisi jujur, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Hoegeng merupakan Kepala Kepolisian RI yang menjabat pada tahun 1968-1971 dan dikenal sebagai polisi yang sederhana. 


AS Hikam dalam bukunya Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) menjelaskan bahwa humor tersebut pertama kali didengar olehnya pada tahun 2008 ketika ia bertamu ke rumah Gus Dur. Pada saat itu terjadi beberapa skandal korupsi besar di antaranya BLBI (Rp600 Triliyun) dan Bank Century (Rp6,7 triliun) yang menyeret sejumlah institusi negara, termasuk Polri.


“Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik. Terutama setelah lembaga tersebut dipisahkan dari ABRI saat Gus Dur menjabat sebagai presiden,” tegas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, Kamis (18/6) lewat keterangan tertulisnya.


Bagi Gus Dur, rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.


“Menjadikan humor sebagai ‘barang bukti’ kasus pencemaran nama baik institusi adalah bentuk kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris,” jelas Alissa.


Polres Sula, Maluku Utara menyebut humor yang diunggah Ismail mencemarkan nama baik institusi Polri. Postingan Ismail sempat diancam akan dipidanakan menggunakan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Ismail kemudian dibebaskan karena bersedia meminta maaf melalui media massa.


Pasal yang diancamkan kepada Ismail adalah hukuman penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp750 juta. Kapolres Sula AKBP Muhammad Irvan berdalih pemanggilan Ismail untuk klarifikasi.


Meski kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, namun pemanggilan terhadap Ismail oleh Polres Sula adalah bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya. Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia. 


Oleh karena itu Jaringan Gusdurian sebagai kelompok yang berjuang meneruskan perjuangan Gus Dur menyatakan sikap sebagai berikut:


Pertama, mengapresiasi Ismail Ahmad yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan cara mengekspresikan dan menyatakan pendapatnya melalui platform media sosial. 


Kedua, meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekspresikan dan menyatakan pendapat melalui media apapun. Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh aparat penegak hukum.


Penggunaan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tidaklah tepat karena pasal pencemaran baik hanya berlaku untuk subjek perseorangan, bukan terkait dengan lembaga apalagi pemerintah.


Ketiga, meminta lembaga legislatif untuk mengevaluasi, merevisi, dan/atau bahkan menghapus UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.


Keempat, mengajak kepada seluruh Gusdurian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat, salah satunya dengan terus membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi