Nasional

Penyebab Taliban Jadi Kelompok Radikal

Ahad, 12 September 2021 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online
Di dalam kelompok Taliban terdapat faksi-faksi. Salah satu di antaranya faksi yang didirikan Jalaluddin Haqqani. Menurut pengamat intelijen H As’ad Said Ali, faksi Haqqani ini merupakan komponen dari Taliban yang terpengaruh oleh ideologi salafi sehingga menjadi kelompok radikal.

 

Semua bermula ketika para pelajar (Taliban) Afghanistan mengungsi ke perbatasan ketika perang melawan Uni Soviet yang menduduki Afghanistan sejak Desember 1979 hingga Februari 1989. Di perbatasan itulah, para pelajar Afghanistan tersebut belajar di madrasah-madrasah yang dibiayai Arab Saudi. 

 

"Karena (pada saat) itu (dalam kondisi) perang, maka yang diajarkan adalah jihad qital (atau) jihad perang. Kemudian timbul murid-murid yang punya pemahaman bahwa jihad adalah perang. Perang selama 10 tahun itu terbentuk kelompok yang disebut Haqqani yang menguasai perbatasan Afganistan dan mereka terpengaruh oleh itu (ideologi salafi)," tutur As’ad dalam Konfigurasi Peran NU di Afganistan Sabtu (11/9/2021) malam.  

 

Meski begitu, ada pula pejuang lain yang jumlahnya lebih besar dari Taliban. Mereka semua, ketika itu, berjuang untuk melawan Uni Soviet dengan bantuan Arab Saudi dan Amerika Serikat. Kemudian, para pejuang itu berhasil memenangkan peperangan dengan Uni Soviet. 

 

"Jadi ada dua pejuang (di Afghanistan). Pertama, murni tidak terpengaruh ideologi jihad (qitali). Kedua, para patriot yang terpengaruh oleh ideologi jihad di perbatasan tadi. Itu yang terjadi. Nah, sekarang yang mayoritas adalah Taliban (bermadzhab) Imam Hanafi, sehingga ideologinya bukan (jihad) qitali," jelas Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu.

 

Oleh karena Taliban saat ini dikuasai faksi yang bermadzhab Imam Hanafi maka dibuatlah pemerintahan yang disebut sebagai Imarah Islam Afghanistan, bukan khilafah Islamiyah. Menurut As’ad, hal tersebut merupakan upaya Taliban yang ingin mencitrakan diri sebagai kelompok moderat. 

 

"Artinya (Imarah Islam Afghanistan) merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan sebelumnya. Taliban tidak pernah deklarasi khilafah atau khalifah, sampai sekarang juga seperti itu," tegas Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015 itu.

 

Dengan demikian, As’ad kembali menegaskan bahwa penyebab Taliban menjadi kelompok radikal karena situasi yang menghendaki mereka harus radikal untuk melawan Uni Soviet atau negara yang menduduki wilayah mereka. As’ad menambahkan bahwa dalam keadaan perang, siapa pun bisa berpotensi menjadi radikal. 

 

Ia menilai, karakter sesungguhnya masyarakat Afghanistan sangat lembut dan menghargai perempuan. Namun, penghargaan orang Afghanistan terhadap perempuan tetap didasarkan pada nilai kebudayaannya sendiri.

 

"Sesuai falsafah Islam, wanita itu kan dianggap sebagai esensi, sedangkan laki-laki adalah materi. Karena esensi, hakikat, maka harus dijaga di dalam rumah. Tidak boleh masak, hanya bersolek. Yang kerja dan masak adalah laki-laki. Ini ada sisi positif dan negatif. Tapi intinya, orang Afghanistan punya karakter (lembut)," terangnya.

 

As’ad meyakini bahwa PBNU bersama NU Afghanistan bisa kembali melakukan pendekatan kepada Taliban dengan menawarkan nilai Islam moderat. Sebagaimana nilai-nilai yang menjadi landasan berdirinya NU Afghanistan yakni tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), i’tidal (adil), dan musyarakah (partisipatif). 

 

"Kami sudah punya ancang-ancang untuk ikut berperan dalam (perdamaian) ini, tapi yang pertama adalah bagaimana menghapus citra negatif Taliban di Indonesia. Karena banyak orang melihat Taliban sebagai ancaman. Taliban itu Hanafiyah, Asy’ariyah-Maturidiyah dan tasawuf. Tapi kan karena perang itulah maka timbul kesan radikal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia," katanya. 

 

"Insyaallah saya akan memulai lagi untuk menggerakkan angin perdamaian dari NU bersama-sama dengan NU Afghanistan," pungkas As’ad. 

 

Taliban memukuli perempuan

Taliban secara resmi telah mengumumkan kabinet baru yang dibentuk di bawah Imarah Islam Afghanistan, pada Selasa (7/9/2021). Namun sehari setelah itu, Rabu (8/9/2021), sejumlah perempuan berunjuk rasa di jalanan Kabul, ibu kota Afganistan.

 

Para perempuan itu meneriakkan soal kesetaraan hak dan menginginkan agar Taliban melibatkan perempuan dalam kabinet pemerintahan yang baru dibentuk itu. Pasalnya, tidak satu pun perempuan di dalam kabinet itu dan Taliban juga menghapus kementerian urusan perempuan. 

 

"Kami berunjuk rasa dengan damai. Kemudian saya melihat 4-5 kendaraan masing-masing dengan sekitar 10 militan Taliban di dalamnya, berjalan mengikuti kami," kata seorang perempuan pengunjuk rasa bernama Jia (bukan nama sebenarnya), dilansir BBC.

 

"Mereka memukul bahu saya dua kali. Seluruh badan saya sakit. Sampai sekarang masih sakit, dan saya tidak bisa menggerakkan lengan saya. Mereka juga mengucapkan banyak kata-kata kasar dan melecehkan kami. Terlalu memalukan bila saya mengulang kata-kata yang mereka gunakan," kata Jia.

 

Pengunjuk rasa yang lain, Sara, juga mengaku dipukul. Aparat keamanan dari Taliban menyuruh para demonstran agar pulang ke rumah dan mengatakan bahwa rumah adalah tempat bagi perempuan. Ponsel Sara juga dipukul hingga lepas dari tangannya ketika ia mencoba merekam pasukan militan yang berusaha menghentikan unjuk rasa.

 

Pada konferensi pers perdana usai melakukan kudeta di Afghanistan, Taliban telah mengatakan bakal berkomitmen untuk menghargai hak-hak perempuan dan tidak melarang perempuan mendapatkan pendidikan atau pekerjaan.

 

Namun sejak mengambil kendali pada 15 Agustus, Taliban meminta semua perempuan untuk tidak bekerja, kecuali perempuan yang bekerja di sektor kesehatan publik. Ketetapan itu diberlakukan sampai situasi keamanan membaik. 

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan