Nasional

Penyebab Moderatisme Islam di Indonesia menurut Gus Ulil

Sab, 8 Agustus 2020 | 16:00 WIB

Penyebab Moderatisme Islam di Indonesia menurut Gus Ulil

Gus Ulil saat menyampaikan pandangannya dalam tadarus Islam Nusantara. (Foto: tangkapan layar)

Jakarta, NU Online
Intelektual muda NU Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengungkap beberapa faktor penyebab moderatisme Islam di Indonesia. Ia mempaparkan pandangannya dalam Tadarus Islam Nusantara bertema ‘Moderasi Beragama dalam Perspektif Islam Nusantara’. Diskusi daring ini digelar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) pada Jumat (7/8) malam.


Indonesia, kata Gus Ulil, dapat menikmati corak Islam yang rileks, tidak saklek, tidak kaku, serta Islam yang cair karena budaya. Meski demikian, kaum muslimin di negeri ini tidak kehilangan komitmen atau ikatan kuat dengan tradisi Islam yang toleran dan fleksibel.


“Saya menduga, Indonesia bisa melakukan transisi demokrasi yang cukup mulus, karena memang kultur yang berkembang di masyarakat kita. Kita memiliki corak kehidupan kultur yang terbuka kepada pengaruh asing,” jelasnya.


Menurut Gus Ulil, Indonesia sebagai negara kepulauan memberikan efek mudah menerima pengaruh-pengaruh asing. Meskipun demikian, tidak berarti mudah untuk dipengaruhi.

 


“Karena kita memiliki cara sendiri untuk mengatur pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar,” ungkap menantu KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) Rembang itu.


Pengampu Ngaji Ihya’ Online itu menyebutkan, ada sejumlah lapisan geologis dalam sejarah pertumbuhan negara Indonesia. Di antaranya, pengaruh Hindu Budha yang dibuktikan dengan bangunan Candi Borobudur.


Selain itu, ada pengaruh dari Islam ala Walisongo. Kemudian pengaruh modernitas dari Eropa yaitu universitas-universitas yang masih berdiri hingga saat ini. Lalu, pesantren juga merupakan warisan lapisan kedua.


Islam bermadzhab
Corak lain Islam moderat di Indonesia, kata Gus Ulil, adalah pemilihan Islam yang bermadzhab. Sehingga di manapun akan membawa Islam menjadi lebih moderat. “Secara umum, orang yang islamnya mengikuti madzhab cara beragamanya lebih rileks,” ungkapnya.


Menurut dia, posisi Al-Qur’an dan Hadits dalam pandangan Islam bermadzhab itu sebagai input, bukan output. Dalil-dalil yang ada sebelum menghasilkan sebuah keputusan final diolah terlebih dahulu melalui mesin bernama madzhab.


“Uniknya Islam bermadzhab, ketika mereka berhadapan dengan dalil-dalil maka tidak memperlakukannya sebagai hasil final,” tandas Gus Ulil.


Moderasi Islam di Indonesia, lanjut dia, selain berhutang budi kepada corak Islam bermadzhab yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Mathlaul Anwar, dan sebagainya, juga ada arus lain yang turut berjasa dalam pembentukan moderasi beragama, yaitu pemikiran pembaharu Islam.


“Kita tidak boleh menolak jasa dari Munawir Syadzali, Harun Nasution, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Mukti Ali, Gus Dur, dan lain-lain,” terangnya.

 

Faktor terakhir yang dijelaskan Gus Ulil bahwa adanya Islam dengan arus pemikiran revivalisme yang sedikit banyak mengenalkan Islam di sejumlah kampus sekuler. 


“Walaupun kita kurang sepakat dengan Islam yang model seperti hijrah-hijrah itu, namun kita harus mengapresiasi dan memberikan perhatian,” terang Gus Ulil.


Sayangnya, lanjut dia, Islam revivalisme ini cenderung mengarah kepada radikalisme. “Nah, di sinilah tugas kita untuk mengenalkan tradisi-tradisi Islam di Nusantara,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori