Nasional RISET DIKTIS

Penyebab Bias Gender Pendidikan di Desa Kalipang Pasuruan

Rab, 6 November 2019 | 14:15 WIB

Penyebab Bias Gender Pendidikan di Desa Kalipang Pasuruan

Ilustrasi (pixabay)

Gender adalah sebuah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Contohnya adalah bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan. 
 
Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional. Lembah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan sejenisnya. Perubahan ciri-ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu serta dari satu tempat ke tempat yang lain.
 
Konsep kesetaraan gender adalah kondisi di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap, dan perilaku saling bantu membantu dan saling mengisi di semua aspek kehidupan. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan serta dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan serta pertahanan, dan keamanan nasional.

Walaupun konsep kesetaraan gender ini sering diguangkan dalam pendidikan, pada kenyataannya di lapangan sering terjadi bias gender antara laki-laki dan perempuan. Terlebih dalam bidang pendidikan orang tua lebih memberikan akses kepada anak laki-laki dari pada kepada anak perempuannya, khususnya di daerah perdesaan.

Sebagaimana contoh Desa Kalipang, yaitu sebuah desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur yang dalam penelitian yang dilakukan oleh Iwantoro pada tahun 2018 dengan judul Pendidikan Anak dalam Perspektif Gender: Studi Kasus Pendidikan Anak di Desa Kalipang Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan, termasuk desa yang memiliki persepsi bias gender dalam pendidikan.

Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Desa Kalipang lebih mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya dibanding dengan anak perempuannya. Anak perempuan lebih diberikan prioritas untuk mendapat pendidikan nonformal atau mondok di sebuah pondok pesantren. Anak perempuan paling tinggi disekolahkan pada tingkat Sekolah Menangah Atas (SMA) sederajat, bahkan ada yang sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat kemudian dinikahkan.

Iwantoro dalam penelitian yang didukung oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI, menemukan bahwa terjadinya bias gender terhadap pendidikan anak di Desa Kalipang Kecamatan, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan ini setidaknya disebabkan oleh empat  faktor.
 
Pertama,
 tingkat pendidikan masyarakat Desa Kalipang yang masih tergolong rendah. Mayoritas pendidikan masyarakat Desa Kalipang adalah pendidikan dasar sederajat. Hal ini tentu membuat pola pikir mereka sederhana. Hal ini pulalah yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam pendidikan didesa tersebut.

Kedua, adalah ekonomi masyrakat. Sebagian besar masyarakat Desa Kalipang bekerja sebagai petani, buruh tani, pedagang kecil, dan wiraswasta. Penghasilan yang didapat pun masih tergolong kecil untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Pendapatan sehari-hari lebih dipergunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sedangkan untuk sektor pendidikan menjadi hal kurang diprioritaskan.
 
Ketiga, stereotip terhadap anak perempuan. Masyarakat Desa Kalipang masih memandang stereotip bahwa anak perempuan adalah anak yang lemah sehingga tidak sesuai mereka beraktivitas atau bekerja di luar rumah menjadi salah satu sebab terjadinya bias gender terhadap pendidikan anak perempuan.

Keempat, adalah sosial dan budaya. Budaya di Desa Kalipang masih mengganggap bahwa jangkauan perempuan terbatas pada 'sumur, dapur, dan kasur' mengakar kuat. Dan inilah yang menjadi faktor yang menyebabkan anak perempuan mengalami bias gender dalam pendidikan
 

Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan