Nasional SERI KAJIAN KITAB KUNING

Pengelanaan dan Karya Kiai Ihsan Jampes

NU Online  ·  Jumat, 29 November 2013 | 06:52 WIB

Syahdan, tidak lama dari mimpinya yang monumental itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Bakri keluar dari pesantren ayahnya untuk melanglang buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. <>

Beberapa pesantren yang sempat disinggahi Kiai Ihsan kecil adalah Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri), Pondok Pesantren Jamseran Solo, Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pondok Pesantren Mangkang Semarang, Pondok Pesantren Punduh Magelang, Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk, dan Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.

Dari rihlah ‘ilmiah-nya, ada satu kebiasaan yang sering dilakukan Bakri, yakni ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik yang berisi seribu bait tentang rumus dan teori Gramatika Arab (Nahwu dan Sharf) Bakri belajar dari KH. Kholil Bangkalan dan hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar ilmu falak (astronomi) kepada KH. Dahlan Semarang dan hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Pesantren Jamsaran Kediri ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.

Keunikan lainnya yang dapat disimak yaitu di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain. Alih-alih kebiasaan atau tradisi di dunia pesantren yang sering kali mengelu-elukan dan memanjakan para gus, anak kiai, seringkali “memabukkan” dan membius para gus, mereka kebal hukum dan peraturan pesantren, dan berujung pada ketidak seriusan belajar. Dan tradisi itulah yang hendak dihindari oleh Bakri, lantaran di mata Bakri tradisi itu tidak kondusif dalam proses belajar dan sering kali membentuk karakteristik feodal yang tidak baik.   

Pada tahun 1932, setelah selesai melalui tour ilmiyah itu, Bakri inobatkan menjadi pengasuh atau pemimpin Pondok Pesantren Jampes, Kediri. Sejak saat itulah Bakri terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes. Ada banyak perkembangan yang signifikan di Pesantren Jampes setelah Syekh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun, semula sekitar 150 santri menjadi sekitar 1000 santri lebih, sehingga Pesantren Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Diniyah Mafatihul Huda pada 1942.

Sebagai seorang kiai, Syekh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah (mengkaji) kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didesikannya untuk santri, Syekh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syekh Ihsan dikenal memiliki ilmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syekh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah dan kalangan yang meminta bantuannya. Keilmuan hikmah yang dimilikinya ini berkat penguasaannya yang baik terhadap kitab-kitab hikmah seperti Syamsul-Ma’arif karya al-Buni, Mamba’ Ushul al-Hikmah, Kitab al-Aufaq karya Imam al-Ghazali, dan lain-lain. Bahkan keilmuan hikmah ini ia integrasikan dan kolaborasikan dengan ilmu falak yang telah difahaminya secara mendalam.

Pada masa revolusi fisik 1945, Syekh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. Pesantren Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda. Di Pesantren Jampes, mereka meminta doa restu Syekh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syekh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih Pesantren  Jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syekh Ihsan membuka gerbang pesantrennya lebar-lebar.

Sumbangan Syekh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syekh Ihsan, khususnya karya magnum opus-nya, kitab yang berjudul Sirojut-Tholibin, kitab syarah (penjelasan) dari kitab Minhajul-‘Abidin karya Imam al-Ghazali, terbit pertama kali pada 1932 setebal sekitar 800 halaman. Kitab ini mengulas tasawuf. Syekh Ihsan mendapatkan penghargaan dan legitimasi ilmiyahnya di mata dunia Islam, ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab al-Halab, sebuah penerbit yang berorientasi menerbitkan kitab-kitab kuning (turats), yang sampai saat ini masih eksis. Di antara kitab tasawuf yang ditulis syekh Ihsan adalah kitab Manahijul-Imdad , sebuah syarah (penjelasan) dari kitab Irsyadul-‘Ibad karya Syekh Zainudin al-Malibari, terbit pertama kalinya pada tahun 1940 setebal sekitar 1088 halaman, mengulas tasawuf secara luas dan mendalam.

Sebelum menulis tentang tasawuf, syekh Ihsan berkelana mengelilingi tanah Jawa. Sebuah perjalanan apostolik sebagaimana tradisi para sufi darwis. Dalam perjalanan apostoliknya, ia menjumpai dan berdialog sekaligus menimba ilmu secara singkat dari hampir seluruh ulama tasawuf, mursid tharekat, dan para kiai yang terkenal keilmuan dan kezuhudannya. Bahkan, ia pun menjumpai para tokoh kejawen, pengikut kepercayaan, dan mengajak mendiskusikan secara mendalam persoalan filsafat, spiritual, dan pandangan-pandangan spiritual.

Lebih menakjubkan lagi, ia pun menjumpai para dukun dari berbagai jenisnya, lantaran para dukun dianggap memiliki pandangan dunianya sendiri yang harus diselami. Dari pengalaman perjalanan spiritualnya yang telah menggondol segudang informasi dan ilmu itu menjadi salah satu modal dalam mengkonsepsikan pandangan tasawufnya yang dielaborasikan dengan mengikutsertakan pengalaman pribadi, eksperimentasi spiritual, ritual, pandangan pewayangan, dan pentakwilan atas segenap teks normatif Islam, al-Quran dan hadits. 

Pada saat-saat menulis karya-karyanya tersebut, syekh Ikhsan dengan tekun menuliskannya yang tak kenal lelah, tak kenal waktu, bergadang, malam yang hening dilaluinya dengan ditemani segelas kopi dan berbatang-batang rokok. Karena memiliki kebiasaan meminum kopi dan menghisap rokok, akhirnya menginspirasikan lahirnya sebuah kitab yang ditulisnya dengan judul kitab Irsyadul-Ikhwan fi Bayani Hukmi Syurbil-Qohwah wad-Dukhon. Kitab ini diadaptasi dari kitab kumpulan syair-syair atau puisi dari kitab Tadzkiratul-Ikhwan fi Bayanil-Qahwah wad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian diberi penjelasan (syarh), tebalnya 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hukum merokok dan minum kopi.

Disamping dikenal sebagai pakar tasawuf, syekh Ihsan juga merupakan ulama dan masuk dalam deretan nama pakar ilmu falak (astronomi). Salah satu karya akademik di bidang ini adalah kitab Tashrihl-‘Ibarot, syarah (penjelasan) dari kitab Natijatul-Miqot karya KH. Ahmad Dahlan Semarang, terbit pertama kali pada 1930, setebal 48 halaman.

Seorang sufi yang juga penuh karya akademiknya ini akhirnya pada Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, dipanggil oleh Allah SWT. Usianya yang baru melewati setengan abad ini, 51 tahun, meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Kuburannya hingga saat ini ramai dikunjungi oleh para peziarah, khususnya dari warga NU.

Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam korpus kitab-kitab karyanya yang ‘abadi’ maupun yang terrekam dan tersimpan di dalam hati para murid-muridnya. Beberapa murid Syekh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah Kiai Soim pengasuh pesantren di Tanggir Tuban, KH. Zubaidi di Mantenan Blitar, KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap, KH. Busyairi di Sampang Madura, K. Hambali di Plumbon Cirebon, K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.

Setahun yang lalu, penulis berziarah kemakamnya dan ke pesantren peninggalannya yang bersahaja dengan disambut oleh KH. Busyro, pengasuh pesantren peninggalan sang sufi kita. Kami berbincang-bincang di rumah KH. Busyro seputar karya-karya sang sufi. Beliau bercerita bahwa sejatinya Gus Dur, panggilan akrab mendiang KH. Abdurrahman Wahid, pernah ingin memperjuangkan salah satu naskah sang sufi yang belum sempat tersebar ke penjuru dunia Islam, yaitu kitab Manahijul -Imdad. Gus Dur meng-copy manuskrip (makhthuthat) kitab tersebut dan diserahkan ke Syekh Sayyed al-Maliki, dengan harapan mendapatkan tashih atau tahqiq dan diterbitkan di Arab. Akan tetapi dalam penantian yang panjang, kitab tidak kunjung diterbitkan. Akhirnya atas dasar inisiatif KH. Busyro sekeluarga, kitab tersebut telah diterbitkan oleh keluarga kiai Ihsan dengan dicetak cukup sederhana dan dalam jumlah terbatas. Tanpa disangka dan diduga, kitab tersebut dalam waktu singkat ludes dipasaran. Karena, rupa-rupanya para kiai dan santri betul-betul menanti-nantikan karya syekh Ihsan itu. Akhirnya ketika sudah ada di depan mata, mereka memburu dan berebut untuk mendapatkannya. Penulis sendiri pada waktu keliling pesantren salaf, tidak mendapatkan kitab tersebut. Dan penulis sempat mensarankan pada KH. Busyro agar kitab tersebut dicetak kembali.

Karya-karya syekh Ihsan sebagian besar telah dikaji dan dibaca oleh para kiai dan santri di pesantren salaf-tradisional. Khususnya kitab magnum opusnya, yaitu Sirojut-Tholibin. Bahkan sebagian kiai Lirboyo-Kediri membacanya setiap tahun sebagai ritual pengajian sehari-hari. Tidak diragukan lagi jika paradigma sufistiknya yang bernuansa Ghazalian yang mengusung perkawinan tasawuf dan syari’ah telah berpengaruh besar terhadap paradigma nalar sufisme kaum santri yang berbasis NU (Nahdlatul Ulama).

 

Mukti Ali
Program Officer Manuskrip Nusantara & Peneliti Rumah Kitab