Nasional RISET DIKTIS

Pengaruh Kesultanan terhadap Sosiolinguistik Masyarakat Bima

Ahad, 20 Oktober 2019 | 23:00 WIB

Pengaruh Kesultanan terhadap Sosiolinguistik Masyarakat Bima

Foto Kesultanan Bima (Foto: Facebook I La Galigo Passompe'E)

Usaha islamisasi masyarakat Bima, tampaknya memberi hasil yang cukup memuaskan. Kesuksesan ini setidaknya dapat dilihat dari peradaban masyarakat Bima yang selama tidak kurang dari 310 tahun berada dalam pengaruh Islam. Itu artinya, agama Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan denyut nadi masyarakat Bima selama kurun waktu 300-an tahun itu.

Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah dalam penelitian pada tahun 2018 yang berjudul Analisis Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima  mengungkapkan bahwa para sultan dan ulama berhasil mengukir sejarah yang gemilang selama 300 tahun di Bima. Kegemilangan  prestasinya adalah memasukkan istilah-istilah bahasa Arab Islam sebagai bagian dari sosiolinguistik mereka. Pembahasan ini akan dijabarkan secara rinci setelah disajikan sejarah panjang kesultanan Bima beserta kebijakan-kebijakannya.
 
Berdasarkan penelitian yang didukung Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, para peneliti menemukan bahwa selama kurun waktu 1540 M hingga 1950 M, Islam Bima mengalami kejayaan. Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah menuturkan Bima tersohor sebagai pusat penyiaran Islam di wilayah Nusantara bagian Timur. Rakyatnya terkenal sebagai penganut agama Islam yang taat. Beberapa tradisi bermunculan dengan dengan ciri khas dan karakter Islam Sentris. Di antaranya adalah tradisi Moludan (sekarang disebut Maulid), jikiran (sekarang disebut tahlilan), Marhabanan (sekarang disebut Shalawatan), dan lain sebagainya. Itu semua dibentuk atas hasil kerja sama antara ulama dan Kesultanan di masanya.

Seperti misalnya, revolusi besar-besaran yang dilakukan oleh Sultan Abdul Khair Sirajudin bersama Datuk Raja Lelo dan kawan-kawan, bukan hanya terbatas pada upacara peringatan hari-hari besar agama, tetapi juga pada bidang-bidang lain. Guna meningkatkan peran ulama di bidang pemerintahan, dibentuk lembaga yang bernama Sara Hukum. Mulai saat itu Kesultanan memiliki tiga lembaga yaitu Sara Tua, Sara-Sara, dan Sara Hukum. Semua anggota lembaga Sara Hukum berasal dari ulama terkemuka. Lembaga ini  menangani pembangunan di bidang agama dan hukum. Lembaga Sara dan Hukum dipimpin oleh seorang qadhi atau imam. Dibantu oleh Khatib (Khatib Tua, Khatib Karota, Khatib Lawili dan Khathib To`i), Lebe Na`e, Cepe Lebe, Bilal, dan Robo.
 
Dalam bidang pendidikan, Kesultanan Bima menjadikan masjid dan langgar sebagai pusat pendidikan di masanya. Bahkan lembaga-lebaga pendikan diakui sebagai tanggung jawab lembaga Sara dan Hukum. Selain itu, peneliti juga meyebutkan bahwa peran Lebe Na`e dan Cepe Lebe dalam bidang pendidikan di tingkat kecendekiaan dan desa sangatlah besar. Pendidikan Agama khususnya bagi anak-anak usia sekolah (6-12 tahun) diserahkan kepada guru ngaji. Dalam hal ini, guru ngaji tidak hanya mengajar Al-Qur'an, tetapi juga akan mengajar dan membimbing murid-muridnya dalam urusan ibadah seperti shalat dan puasa. Kalau anak sudah berusia di atas 12 tahun, mereka akan mengikuti pendidikan di mesjid atau di langgar. Guru ngaji sangat dihormati oleh masyarakat, untuk kesejahteraan hidupnya dijamin oleh orang tua anak dan lembaga Sara Hukum.

Walau pendidikan anak diserahkan pada guru ngaji, namun orang tua tetap bertanggungjawab terhadap pendidikan putra-putri mereka. Mereka terus memantau proses pendidikan yang sedang ditempuh oleh putra-putrinya. Orang tua juga tetap ikut aktif mendidik dan membimbing anaknya di rumah. Pada saat saat tertentu, sultan bersama pemimpin Sara Hukum, melakukan penyempurnaan dan pembaharuan di bidang-bidang lain.
 
Lebih lanjut Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah dalam penelitiannya menerangkan bahwa Kesultanan Bima berhasil menggeser aksara Bima Lama (Mbojo) kepada aksara Arab Melayu (Arab Gundul). Aksara Mbojo Lama yang diadopsi dari aksara Makassar, yang banyak persamaannya dengan aksara Sansekerta, pada masa Kesultanan Islam diganti dengan bahasa dan aksara keagamaan, Arab. Bahkan, seluruh masyarakat dianjurkan untuk belajar membaca dan menulis aksara huruf Arab Melayu. Surat-surat resmi dan dokumen kesultanan ditulis dengan huruf Arab Melayu, termasuk naskah BO Istana.
 
Dampak positif dari penggunaan aksara Melayu adalah masyarakat termasuk anak-anak akan mudah membaca kitab suci Al-Qur`an. Bagi orang-orang dewasa yang ingin memperdalam ilmu agama dirasakan sangat membantu. Mereka sudah mempelajari kitab- kitab Islam yang pada umumnya ditulis dengan aksara Arab Melayu.

Selain itu, prestasi lain yang diwariskan oleh Kesultanan Bima terhadap sejarah peradabannya adalah dalam prihal penetapan kalender negara. Kesulatanan Islam yang terbentang pada tahun 1640-1950 M berhasil menerapkan kalender Hijriah dan angka Arab sebagai kalender dan angka yang diberlakukan secara resmi oleh Pemerintah Kesultanan. Seluruh anggota masyarakat harus mampu menghafal nama-nama bulan Hijriah mulai dari bulan Muharam sampai dengan Zulhijah. Angka (bilangan) Arab dipelajari dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Nama-nama hari juga harus dengan nama Arab. Pada masa kesultanan, masyarakat tidak mengenal nama hari Minggu, mereka hanya mengenal istilah Sajama`a (sejumat) atau 'sepekan' dalam bahasa Indonesia.

Kebijakan dan perubahan-perubahan besar yang telah dilakukan oleh Kesultanan Bima di berbagai bidang, secara sosiopolitis memberi dampak yang signifikin terhadap pembentukan masyarakat Bima yang semakin tersatukan dengan kebahasaan dan istilah-istilah Arab ala Islam. Sederhananya, kebahasaan, istilah-istilah sehari-hari yang bergumul di tengah-tengah masyarakat Bima banyak di antaranya telah dipengaruhi oleh bahasa Arab. Sebut saja penggantian aksara Bima Lama (Mbojo) kepada aksara Arab Melayu (Arab Gundul) akan memengaruhi seluruh sistem penulisan kebahasaan linguistik masyarkat Bima menjadi Arab Sentris.

Hal yang sama juga misalnya penetapan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi Kesultanan yang diberlakukan secara resmi dan mengikat kepada masyarakatnya. Maka secara spontan, penamaan hari, penomoran tanggal, penamaan bulan dan tahun secara total disesuaikan dengan bahasa Arab. Bahkan penentuan hari baik, hari keberuntungan dalam melakukan segala sesuatu apa pun, disesuaikan dengan kalender Arab Islam. Itu artinya, masyarakat Bima hampir secara total sosio linguistinya berkarakter Arab Islam.

Ulasan Ahmad Fairozi