Tangerang Selatan, NU Online
Al-Qur'an dan antropologi bisa menjadi simbiosis mutualisme, saling membantu memberi pemahaman terhadap peneliti.
"Antropologi bisa membantu memahami ayat-ayat Al-Qur'an," kata Faried F Saenong Dosen dan Peneliti Universitas Victoria Wellington, Selandia Baru pada Kajian Membumikan Al-Qur'an di Pusat Studi Al-Qur'an, Jalan Kertamukti, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, Kamis (8/11).
Faried menjelaskan bahwa ada istilah etnografi imajiner. Ia membayangkan pemahaman masyarakat Makkah saat itu. Sebab, katanya, antropolog harus meyakini informasi yang informan sampaikan, meski tidak sampai menjadi keyakinannya.
"Sesuatu yang tidak mungkin kita percayai tidak perlu dipercayai sebagai keyakinan, tapi diyakini sebagai informasi yang melekat keyakinan mereka," ujarnya pada diskusi yang bertema Yang Sakral dan Profan dalam Sejarah Kitab Suci: Al-Qur'an, Antropologi, dan Etnografi Imajiner itu.
Ia menceritakan, seorang peneliti Hindu di Meksiko juga melakukan pendekatan yang sama, yakni dengan memahami Hindu dari masyarakat India.
Katib PCINU Australia Selandia Baru juga menyampaikan bahwa tradisi masyarakat dengan Al-Qur'an bisa didekati dengan antropologi. Qari atau hafidh, misalnya, yang tidak pernah lepas dengan Al-Qur'an.
Selain itu, penyembuhan dengan Al-Qur'an, baik itu dengan dibacakan langsung atau melalui media air, menurutnya, juga bisa diteliti dengan pendekatan antropologi.
Contoh lain, seperti sebagai media pelindung dari makhluk halus dan makhluk jahat, dan penggunaan Al-Qur'an sebagai doa penambah rizki dengan membaca ayat tertentu. "Itu tradisi yang bisa kita teliti," tuturnya. (Syakir NF/Muiz)