Nasional

Pendekatan Budaya Efektif Sudahi Konflik Sosial

NU Online  ·  Senin, 28 Mei 2012 | 10:16 WIB

Jakarta, NU Online
Perkelahian pemuda di Kab. Sigi, Sulawesi Tengah, mengakibatkan konflik sosial. Konflik sosial melibatkan 3 desa; Bora, Oloboju, dan Vatunonju di Kab. Sigi. Gesekan berlanjut hingga 1 ½ tahun belakangan. Dari gesekan pemuda di 3 desa ini, sedikitnya 3 korban tewas.
<>
Awalnya sejumlah pemuda terlibat pertengkaran mulut karena soal pengairan. Mereka semestinya mengambil jalan tengah terkait distribusi pengairan yang melewati desa masing-masing. Tetapi bentrokan fisik pecah pada Februari 2011 lalu.

Pemerintah kabupaten dan aparat keamanan sudah melakukan segala pendekatan untuk melerai ketegangan. Tetapi  kedua instansi ini gagal di tengah jalan. Pendekatan administratif, bukan jaminan penyelesaian.

“Kami melakukan upaya rekonsiliasi berkesinambungan. Dengan pendekatan kebudayaan dan persuasif, mereka ternyata lebih mau diajak duduk bersama untuk mengakhiri konflik yang ada,” ungkap Zulfiah TH. Mansur, Ketua PW Fatayat NU Sulteng kepada NU Online usai peringatan puncak harlah ke-62 Fatayat NU di Gedung SMESCO lt.3 Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Ahad (27/5) siang.

Zulfiah tidak sendiri datang dari Sulteng. Ia ditemani oleh Wakil Ketua PW Fatayat NU Sulteng, Rahmawati, Wakil Sekretaris, Siti Aisyah, dan Kabid. Advokasi, Sholawati.

Untuk memecahkan kebuntuan, Zulfiah dengan 11 PC Fatayat NU di Sulteng melakukan pendekatan persuasif. Mereka turun ke daerah konflik. Penyuluhan-penyuluhan tentang kerukunan, kerap digelar. Mereka pun melibatkan peran kepala-kepala adat setempat.

Dengan kerja keras, PW Fatayat NU berkelanjutan mendekati mereka. Misalnya, seminar tertutup tentang kerukunan, hak, dan kewajiban antarwarga, diadakan.

Puncaknya, Fatayat NU Sulteng mengadakan istigasah akbar 20 Mei 2012 di Taman Purbakala Vatunonju, Kec. Sigi, Kab. Sigi. Dalam kesempatan itu, Fatayat NU memediasi ketiga desa bertikai untuk menyerahkan senjata. Penyerahan senjata oleh pemuda di 3 desa, adalah simbol rekonsiliasi mereka.

Usai penyerahan senjata, Fatayat NU melibatkan kepala adat setempat. Kepala adat diminta sebagai saksi deklarasi pemuda yang bertikai. ‘Siapa yang memicu perkelahian di masa mendatang, akan menjadi musuh bersama,’ tambah Zulfiah mengucap salah satu isi deklarasi.

Mereka memercayai PW Fatayat NU Sulteng dibanding pemerintah dan aparat keamanan. Hal ini lebih dikarenakan PW Fatayat NU menggunakan elemen tradisi dalam mengatasi kebuntuan masalah.

Pernah ada satu kelompok aktivis perempuan, melakukan mediasi di sana. Namun mereka diusir bahkan diancam oleh masyarakat. Mereka menggunakan pendekatan politik karena mereka adalah aktivis perempuan salah satu partai Islam, tutur Zulfiah dengan anggukan 3 jajaran pengurusnya.

Atas keberhasilan memediasi rekonsiliasi di daerah konflik, PP Fatayat NU memberi anugerah kepada Zulfiah TH Mansur, Ketua PW Fatayat NU Sulteng dalam peringatan harlah ke-62 Fatayat NU. Ia adalah satu dari 4 aktivis perempuan yang menerima penghargaan atas dedikasi pada bidang masing-masing.

Zulfiah laik mendapatkan penghargaan. Ia adalah insiator yang memusatkan perhatian dan gerakannya dalam membenahi persoalan serius di masyarakatnya.


Redaktur: Mukafi Niam
Penulis    : Alhafiz Kurniawan