Nasional

Pemerintah Kerap Berteriak Demokrasi, Tapi Tak Dukung Kualitas Demokratisasi

Sel, 20 Oktober 2020 | 09:00 WIB

Pemerintah Kerap Berteriak Demokrasi, Tapi Tak Dukung Kualitas Demokratisasi

KH M. Taufik Damas. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas mengritik penyelenggara negara di Indonesia yang kerap berteriak soal demokrasi, tetapi justru sering melakukan sesuatu yang seperti tidak mendukung proses demokratisasi yang berkualitas.


“Kita harus kritis karena penyelenggara ini teriak demokrasi tapi berbuat yang walaupun tidak berlawanan dengan demokrasi tapi tidak mendukung proses demokrasi,” jelasnya, dalam Peringatan Hari Santri bertajuk Dakwah Moderasi Beragama di Medsos: Upaya Merawat Demokrasi di Masa Pandemi yang diselenggarakan PWNU DKI Jakarta pada Senin (19/10).


Lebih lanjut, Kiai Taufik mengatakan bahwa salah satu faktor penghambat proses demokratisasi yang berkualitas di sebuah negara adalah politisasi agama. Oleh karena itu, ia meminta kepada seluruh pihak agar moderasi beragama harus terus diperjuangkan.


Menurutnya, dua hal penting yang harus dilakukan untuk menciptakan moderasi beragama. Pertama, ilmu pengetahuan keagamaan yang harus dipelajari dengan baik dan benar. Sebab hal ini akan membuat orang secara otomatis menjadi moderat dalam paham keagamaannya.


“Selain ilmu pengetahuan keagamaan, kedua, orang juga harus memiliki kesadaran tentang ilmu-ilmu non-agama yang berhubungan demokrasi. Umpanya hukum tata negara. Itu juga penting untuk dipelajari,” tegas Kiai Taufik.


Sebab baginya, antara moderasi beragama dan demokratisasi harus berjalan beriringan. Ia menjelaskan bahwa tokoh agama diposisikan sebagai masyarakat sipil yang ikut menciptakan kehidupan yang demokratis.


“Maka jadi tokoh agama, bagi saya, harus juga memperkaya diri dengan wawasan-wawasan (ilmu non-agama) seperti itu sehingga pihak yang bertanggung jawab atas terciptanya demokrasi yang berkualitas itu bukan hanya kita (tokoh agama),” katanya.


Kiai Taufik kritik dinasti politik


Tetapi, lanjut Kiai Taufik, anggota DPR dan pejabat pemerintah juga harus serius melakukan dan mendorong masyarakat di sebuah negara untuk menciptakan demokrasi yang berkualitas. Ia memberikan contoh soal penghambat kualitas demokrasi, yakni dinasti politik.


“Dinasti politik itu harus juga kita kritisi. Dinasti politik di dalam demokrasi itu memang boleh tapi itu menghambat kualitas demokrasi. Saya sering mengingatkan masyarakat dalam konteks demokrasi seperti dinasti politik di Indonesia ini banyak banget,” ungkapnya.


“Itu (dinasti politik) memang tidak dilarang oleh demokrasi tapi pelakunya kan sudah punya privilese (hak istimewa). Jadi ibarat lomba, dia sudah mulai start dengan berbagai macam keistimewaan sedangkan yang tak terlibat dalam dinasti politik harus mulai dari nol,” tambahnya.


Hal tersebut, ditegaskan Kiai Taufik sangat menghambat proses terciptanya pemimpin yang berkualitas dan kompeten. Ia mengungkapkan bahwa fenomena dinasti politik itu bisa dilawan dengan kampanye negatif.


“Kampanye negatif ini sah karena yang dilarang itu kampanye hitam seperti fitnah. Jadi kalau ada pelaku dinasti politik yang sebenarnya tidak berkompeten untuk menjadi penguasa tapi punya kedekatan dengan pejabat, maka kita bisa melawan mereka dengan kampanye negatif,” jelas Kiai Taufik.


“(Katakan saja) bahwa orang ini tidak punya kualitas untuk menjadi pemimpin,” imbuhnya. 


Para tokoh agama, kata Kiai Taufik, harus melihat pemimpin berdasarkan kualitas dan menjelaskan kepada masyarakat soal bagaimana memilih pemimpin yang baik.


“Nah dalam konteks demokrasi, melawan dinasti politik itu sah dengan kampanye negatif. Menjelaskan ke masyarakat bahwa kita harus memilih pemimpin yang berkualitas untuk proses demokratisasi,” tuturnya.


Ujung pangkal moderasi beragama dan demokrasi


Menurut Kiai Taufik, hal paling penting dari demokrasi dan moderasi beragama yang dipadu-padankan haruslah berujung pada cita-cita bangsa Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


“Kita ini sebetulnya seringkali hanya terlibat dalam hal-hal yang bersifat formal. Tapi kita lupa bahwa moderasi beragama dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa itu harus berujung pada kesejahteraan masyarakat atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.


Baginya, sangat berat untuk bisa mengharapkan para tokoh agama untuk bisa menjadi lokomotif bagi terwujudnya moderasi paham keagamaan. Sebab di Indonesia ini, penyebutan tokoh agama masih sangat longgar.


“Untungnya ada NU. Kalau di NU menyebut ustadz dan kiai itu tidak mudah. Di NU itu, untuk menjadi tokoh agama, kiai, ustadz, harus sudah menjalani proses keagamaan yang baik. Jadi kalo soal moderasi beragama di NU sudah selesai,” pungkas Kiai Taufik.


Dalam acara itu, hadir pula secara virtual Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini, Ketua PWNU DKI Jakarta KH Syamsul Maarif, dan Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta Ustadz Yusuf Mansur.


Selain itu, acara ini juga dihadiri Jubir Kepresidenan RI Fadjroel Rachman, Staf Khsusus Menteri Agama H Kevin Haikal, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI H Ali Ramdhani, dan Founder Alvara Research Hasanuddin Ali.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad