Nasional

PBNU Tegaskan Demokrasi Butuh Kesabaran dan Cinta Kasih

Sel, 20 Oktober 2020 | 07:00 WIB

PBNU Tegaskan Demokrasi Butuh Kesabaran dan Cinta Kasih

Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Demokrasi tidak sekadar membutuhkan kerelaan hati untuk menerima adanya berbagai perbedaan pendapat. Namun demikian, demokrasi juga membutuhkan kesabaran dan cinta kasih antarsesama.


Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam Webinar Peringatan Hari Santri 2020 yang diselenggarakan PWNU DKI Jakarta bertajuk Dakwah Moderasi Beragama di Medsos: Upaya Merawat Demokrasi di Masa Pandemi, pada Senin (19/10).


“Kita masih menghadapi transisi menuju demokrasi yang sesungguhnya, sehingga bukan saja membutuhkan waktu yang panjang tapi kita juga perlu melihat konteks bahwa kita menghadapi perubahan yang hari ini besar sekali, yaitu kita memasuki era 4.0 atau era disrupsi,” ungkapnya.


Menurut Sekjen PBNU kelahiran Cirebon ini, saat ini berbagai kegiatan yang bersifat muamalah seperti aktivitas perekonomian, pendidikan, dan bahkan dakwah sudah terdigitalisasi di platform online.


“Metodologi yang kita sebut sebagai konvensional sekarang sudah berubah karena terciptanya berbagai platform digital sehingga memudahkan kita di dalam bermuamalah,” lanjutnya.


Helmy mengatakan bahwa Al-Qur'an telah memberikan penjelasan soal metode dakwah. Ia kemudian mengutip Surat An-Nahl ayat 125 yang menjelaskan bahwa dakwah itu berarti mengajak dengan kebijaksanaan dan berbagai perkataan yang baik.


“Jadi sederhana saja, kalau sekarang ada yang mengatasnamakan kiai atau ulama tapi dakwahnya cenderung provoktif dan justru merusak ukhuwah (persaudaraan), menjauhkan Islam dari wajah yang ramah, maka bisa kita pastikan bahwa itu bukan bagian dari dakwah Islam,” tegasnya.


Namun problemnya, lanjut Helmy, saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia mudah percaya dengan kabar hoaks dan berbagai macam ujaran kebencian yang membungkusnya dengan kemasan agama.


“Peran kita (NU) sekarang adalah memoderasi dan meluruskan bahwa cara-cara seperti itu (hoaks dan ujaran kebencian) bukanlah yang dianjurkan dalam Islam. Dakwah itu hakikatnya mengajak kebenaran dan agama harus dijadikan sebagai sumber kebaikan,” ungkapnya.


Pentingnya moderasi dakwah


Sementara itu Ketua Pengurus Wilayah (PW) NU DKI Jakarta H Syamsul Ma’arif mengungkapkan bahwa moderasi dalam berdakwah sangat penting dilakukan. Sebab moderasi merupakan diksi yang maknanya paling dekat dengan terminologi tawasuth, yang menjadi prinsip keberagamaan NU.


Karenanya, ia mendorong para dai untuk terus berupaya melakukan dakwah dan mengisi berbagai ruang di media sosial. Terutama berdakwah di masa-masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, yang tak kunjung usai. 


“Kami, PWNU DKI Jakarta berharap kepada para dai untuk bisa menyampaikan dakwahnya secara moderat. Baik itu dakwah lisan maupun tulisan,” katanya.


Ia menyayangkan sikap dai akhir-akhir ini yang kerap menyampaikan gagasan dan pemikirannya dengan mengatasnamakan kegiatan dakwah, tetapi justru melakukan ujaran kebencian di dalam penyampaiannya.


“Banyak sekali para dai ini sering mengatasnamakan kegiatan dakwah tetapi masih menggunakan ujaran kebencian dan caci-maki kepada orang lain, sehingga tidak ada nilai moderasi. Bahkan bukan sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri,” pungkasnya.


Pada webinar ini turut hadir pula Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta Ustadz Yusuf Mansur, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta KH Taufik Damas, Jubir Kepresidenan RI Fadjroel Rachman, Staf Khsusus Menteri Agama H Kevin Haikal, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI H Ali Ramdhani, dan Founder Alvara Research Hasanuddin Ali.


Pewarta:  Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad