Jakarta, NU Online
Pelukis Nasirun menilai, salah satu kebanggaan untuk NU dan masyarakat Indonesia adalah adanya seorang kiai yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian. Ia tiada lain adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
“Tentu beliau adalah orang yang berbudaya. Orang yang mengantongi ilmu kebudayaan. Peranan organisasi kesenian adalah sebagai payung seniman. Ada sastra, seni rupa, musik, tari dan seni tradisi dari Sabang sampai Merauke. Dengan berkesenian, berarti mencintai bakat dan warisan lokal. Itu adalah geniusitas untuk menjadi manusia yang berbudaya,” ungkapnya pada katalog pameran tunggal Nabila Dewi Gayatri bertema Sang Maha Guru yang menampilkan wajah Gus DUr dengan berbagai dimensi.
Menurut Nasirun, Gus Dur adalah kiai yang mendobrak kejumudan. Keteladanannya menginspirasi banyak orang. Ia mengayomi dan bisa berdiri di tengah semua golongan.
“Tidak hanya di Jawa, tapi seluruh Indonesia. Bahkan, Gus Dur sejatinya milik masyarakat dunia. Beliau memahami seluk-beluk konflik global dan mampu mengayomi perbedaan agama, suku dan ras (etnis),” katanya.
Ia menambahkan, kebudayaan semestinya ada di depan. Ia menjadi jalan bagi keragaman. Kalau kebudayaan tidak jadi panglima di Indonesia, tentunya di era globalisasi, jati diri kita semakin tergerus kebudayaan global. Jika tidak hati-hati, hal itu akan menjauhkan generasi mendatang dengan warisan masa lampau. Kita akan menjadi bangsa tanpa identitas. Idealnya, kita boleh jadi bagian dunia yang serba kekinian, tetapi isi atau esensinya berakar pada lokalitas.
“Saya ingat kata-kata Bung Karno, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” Maka adalah tugas kita semua untuk mencintai kebudayaan Nusantara,” tegasnya.
Ia kemudian menjelaskan, agama dan seni sebenarnya bukan beroposisi biner. Agama dan seni saling melengkapi. Seni bisa tumbuh dari mana saja, termasuk agama. Sebaliknya, agama agemane budhi, idealnya orang yang beragama tentunya berbudaya. Beragama tanpa nilai kesenian jadi hambar, kaku, dan biasanya bengis.
Keduanya, sambungnya, tak patut dilawankan, jika seni dengan kebebasannya membentur agama, perlu dicarikan jalan keluar. Jika agama terlalu kaku mencengkeram kreativitas, perlu ada pendalaman kasus. Bisa jadi itu hanya soal penafsiran yang terlalu kaku. (Abdullah Alawi)