Nasional

Ngaji Ramadhan, Gus Ulil Jelaskan Hubungan Hamba dengan Allah Menurut Imam Ghazali

Sabtu, 8 Maret 2025 | 05:00 WIB

Ngaji Ramadhan, Gus Ulil Jelaskan Hubungan Hamba dengan Allah Menurut Imam Ghazali

Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Ngaji Ramadhan Kitab Jawahirul Quran pertemuan ketiga, Jumat (7/3/2025) malam. (Foto: tangkapan layar Youtube Ghazalia College)

Jakarta, NU Online

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Jawahirul Qur'an memaknai suluk sebagai perjalanan yang tak berpindah tempat. Sebaliknya, suluk merupakan zikir secara sinambung sekaligus menegasikan kepentingan selain Allah.


Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam pertemuan ketiga Ngaji Ramadhan Kitab Jawahirul Qur'an, pada Jumat (7/3/2025) malam.


"Allah tidak bergerak menuju kepada kita, sementara kita juga tidak bergerak menuju kepada Allah secara fisik," katanya, melalui siaran langsung yang ditayangkan melalui Kanal Youtube Ghazalia College.


Imam Al-Ghazali mendasarkan pandangannya itu pada Surat Qaf ayat 16, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dengan urat leher (warid).


Kemudian Gus Ulil memaparkan pandangan Imam Al-Ghazali yang berargumen dengan mengajukan dua analogi sekaligus tentang hubungan hamba dengan Allah.


Pertama, hubungan seorang hamba dengan Allah dianalogikan seperti cermin dengan gambar di dalamnya.


"Allah itu tidak pernah bersembunyi, tidak pernah pergi dari kamu Allah itu, yang terjadi adalah kamu ini seperti cermin. Cerminnya kotor sehingga gambar itu tidak kelihatan di cermin," papar Gus Ulil, membahasakan ulang pernyataan Imam Al-Ghazali.


Kiai jebolan Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati itu membedakan antara nampaknya Allah dengan orang atau benda di hadapan cermin. Namun, ada atau tidaknya Allah ditentukan oleh seberapa bening cermin tersebut.


Meski demikian, Gus Ulil menjelaskan bahwa bukan bermaksud gambar dalam cermin (Allah) melebur dengan cermin itu sendiri (manusia), melainkan terpisah dan bersemayam dalam cermin-cermin yang lain (orang-orang arif).


 "Nampaknya itu karena Allah sudah ada dalam diri kita dari dulu, cuma karena kita kotor kaca kita ini sehingga Allah tidak kelihatan," ujar Gus Ulil.


Kedua, hubungan hamba dan Allah secara urut diibaratkan dengan mata dan cahaya. Bening dan sehatnya mata bisa memandang sesuatu yang mengandung cahaya. Kondisi semacam ini berbeda dengan mata yang lemah dan berpenyakit.


Karena itu, Gus Ulil menegaskan bahwa untuk menemukan Allah maka perlu pembersihan diri melalui zikir sekaligus pembebasan dari hal-hal yang menghalangi menuju Allah.


"Jadi suluk itu adalah membersihkan diri kita," tandasnya.