Nasional

Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Jelaskan Sistem Pendidikan Pesantren

NU Online  ·  Kamis, 11 Agustus 2016 | 09:03 WIB

Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Jelaskan Sistem Pendidikan Pesantren

Kiai Irfa'i Nachrowi ketiga dari kiri

Ciamis, NU Online
Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah KH Irfa’i Nachrowi menjelaskan jatidiri pondok pesantrennya yang bernama Kasepuhan Qasrul Arifan Atas Angin di perbukitan Sarok Landeuh, Desa Darmacaang, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Menurut dia, sistem di pondok tidak seperti di sekolahan. Pondoknya dalam istilah Jawa disebut “pondok sepuh”. “Kegiatan rutinnya pada bulan Muharam dan Rajab. Kegiatannya adalah riyadhoh atau mujahadah,” jelasnya di kediamannya ketika menerima tamu anggota DPR RI Fahri Hamzah, Rabu (10/8).

Riyadhoh, tambah kiai yang juga tercatat di kepengurusan Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mutabaroh An-Nahdliyah (JATMAN), adalah pendidikan berbasis praktik, bukan teori. Di sini, bukan apa itu ikhlas, tetapi bagaimana ikhlas itu? “Bagaimana ikhlas itu adalah kamu saya suruh buka ini hutan,” katanya. Pondoknya memang terletak di atas gunung. Dialah yang “membabad alas” gunung itu untuk perkebunan sekitar 25 hektar yang di dalamnya ada pesantren.

Soal waktu, lanjutnya, pendidikan di pesantren tidak seperti sekolah. Waktu dalam pendidikan pesantren itu relatif. “Tidak ada ukuran jarak waktu dan kekuatan yang harus dimiliki. Ada yang bisa selesai dalam hitungan jam, hitungan hari, hitungan tahun. Bahkan ada yang sampai habis umurnya tidak selesai-selesai,” tambahnya.

Lebih lanjut Mustasyar PCNU Kabupaten Ciamis tersebut menjelaskan tentang manusia. Menurut dia, turunnya kualitas manusia, karena rasio ditunggangi emosi dan nafsu. Rasio itu seharusnya mengendarai nafsu dibawah kendali nurani. Perangkat nurani inilah yang bisa kontak sambung ke Allah. Nuranilah yang harus memimpin rasio.

Maka ada fase nafsu dalam Tarekat Naqsyabandi. Dalam tahap ini murid harus belajar kepada Nabi Adam. Tingkatan pertama adalah latihan menghadapi nafsu amarah atau kebinatangan dalam diri. Di sini ada ego manusia yg harus dikendarai manusia, bukan sebaliknya manusia dikendarai ego.

Turunnya grafik ego otomatis naiknya sifat kebapakan atau leadership dalam diri sebagaimana sifat kebapakan Nabi Adam. Bila sifat kebapakan ini dominan dalam diri, maka akan memunculkan simpati orang yang ada di sekitar kita.

Kepada anggota DPR RI itu Kiai Irfa’i mengatakan, hidup ini adalah sandiwara, maka bersandiwaralah dengan baik. Menurut dia, sandiwara itu bisa dikatakan politik atau siyasah.

“Sandiwara itu kalau dihaluskan lagi bahasanya menjadi politik atau siyasah. Dalam menjalankan sandiwara tidak perlu kita mengikuti cara bersandiwara orang kafir; bersandiwaralah dengan cara yang diajarkan Islam,” tutup Rais Syuriyah Ranting NU Darmacaang ini. (Hakim Zayyan/Abdullah Alawi)