Nasional

Minim Data, Resolusi Jihad Pernah Tak Diakui 

Jum, 4 Oktober 2019 | 12:00 WIB

Minim Data, Resolusi Jihad Pernah Tak Diakui 

Ketua Lesbumi PBNU, Kh Agus Sunyoto di Kudus, Jateng (Foto: NU Online/Farid)

Kudus, NU Online
Ketua Pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU, KH Agus Sunyoto berbagi pengalaman ketika pertama kali mengusulkan supaya Resolusi Jihad diakui sebagai sejarah oleh pemerintah RI.
 
Hal itu ia ceritakan pada Sarasehan dan Ngaji budaya dalam rangka Gebyar Hari Santri dan Hari Jadi ke-470 Kota Kudus yang diselenggarakan Pengurus Cabang Lakpesdam NU Kudus dan Yayasan Pendidikan Islam Kiai Telingsing  di Aula Museum Jenang Gusjigang X-Building, Kamis (03/10).
 
“Ketika tanggal 22 Oktober diusulkan dijadikan Hari Santri, pertanyaannya sederhana, PBNU punya datanya tidak?,” ujarnya mengisahkan.
 
Agus Sunyoto menambahkan, secara tidak sengaja membaca sebuah catatan dari sejarawan Amerika menyebut Resolusi Jihad itu disiarkan oleh kantor berita Antara pada 25 Oktober 1945.
 
“Jadi dua hari setelah Resolusi Jihad disuarakan, disiarkan oleh Kantor Berita Antara. Kemudian sumber lain pada 27 Oktober 1945 dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat,” tuturnya.
 
Makanya, pada 22 Oktober 2017 di Museum Kebangkitan Jakarta secara resmi ada ruang khusus untuk KH Hasyim Asy’ari. Beliau diakui sebagai peletak dasar Resolusi Jihad munculnya Pertempuran 10 November sebab data tersebut.
 
“Itu sebabnya kita sekarang ini sedang ambil 2 juta data. Yang itu manuskrip kisaran 200 tahun yang lalu, untuk membuktikan kiprah lain tentang santri dan kiai,” bebernya.
 
Kendati begitu, tetapi ada banyak rintangan yang harus ditaklukkan. Karena ada oknum-oknum yang tidak ingin santri terlihat berkiprah di NKRI ini. 
 
Acara Sarasehan dan Ngaji Budaya ini diselenggarakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kudus bekerjama dengan Yayasan Pendidikan Islam kyai Telingsing Kudus dalam rangka gebyar Hari Santri 2019. 
 
Hari Santri jatuh pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini, ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. 
 
Penetapan Hari Santri dimaksudkan untuk meneladankan semangat jihad kepada para santri tentang keindonesiaan yang digelorakan para ulama. Tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. 
 
Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan. 
 
Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Di belakang tentaran Inggris, rupanya ada pasukan Belanda yang ikut membonceng.
 
Aspek lain yang melatarbelakangi penetapan Hari Santri adalah pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI. 
 
Ini sekaligus merevisi beberapa catatan sejarah nasional, terutama yang ditulis pada masa Orde Baru, yang hampir tidak pernah menyebut peran ulama dan kaum santri. 
 
Sejak saat itu, pemerintah bersama kalangan pesantren menggelar peringatan Hari Santri secara resmi dengan berbagai agenda kegiatan penunjang, yakni seminar, sarasehan, festival, istighotsah, gebyar dan senandung shalawat, dan lain-lain.
 
Selain KH Agus Sunyoto, hadir pula Plt Bupati Kudus H Hartopo, Dosen Unsiq Wonosobo Asmaji Muhtar, Direktur Mubarok Food Cipta Delicia HM Hilmy, dan  Ketua Yayasan Sunan Telingsing H Agus Nafi’.

Kontributor: Farid
Editor: Abdul Muiz