Nasional

Mengamati Gerhana dari Lembang

NU Online  ·  Jumat, 26 April 2013 | 02:43 WIB

“Rrrrrrrr. Rrrrrrrr. Rrrrrrr.” Jum’at (26/4) dini hari, bunyi Suara HP memecah tidur nyenyak. Sedikit Kaget. Karena alarm di HP diatur untuk bangun dengan tujuan menghantar tetangga yang akan berangkat Umroh. Setelah dilihat ternyata panggilan dari KH Ghazalie, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU. Wah, pasti ini masalah gerhana bulan sebagian (GBS) yang juga terjadi hari ini. Segera HP saya angkat.<>

“Assalamu alaikum.” “Wa'alaikum salam,” jawab saya. “Bagaimana Gerhana di sana (Lembang), apakah bisa diamati? Di sini (Bintaro) mendung. Padahal beberapa menit lagi puncaknya,” tanya dan informasi beliau.

Sambil berjalan untuk keluar rumah dan tanpa banyak berpikir panjang saya juga menjawab: "Mendung, Kyai". Jawaban tersebut didasarkan pada keadaan langit yang mendung, bahkan hujan sebelum tidur lebih awal dari biasanya. Bahkan beberapa hari belakangan langit siang dan malam 'sering dianggap' kurang bersahabat dengan pekerjaan yang tengah saya lakukan, yaitu membangun observatorium kecil (mungkin nanti sy sebut 'imah no-ong').

Meskipun jika dipikir lebih lanjut, hujan dan mendung tersebut memberi waktu lebih bagi saya untuk mempersiapkan lebih matang model dan juga dana dalam membangun 'imah no-ong' tsb.  Imah No-ong merupakan sebuah prototipe small (rencananya 'robotik') observatory yang saya rancang untuk keperluan pengamatan hilal, pendidikan(short Course)  Ilmu falak serta Eduwisata  berbasis kampung.

Sehingga kelak pengamatan hilal dapat dilakukan dengan lebih akurat dan tentunya 'murah' dan mudah. Bahasa iklannya: 'Ngimpiii'. Meski observatorium belum jadi, lusa (Aabtu-Ahad) kegiatan short course Ilmu Falak Praktis bagi tim rukyat LDII dan Pengenalan Teleskop bagi Jurusan Pendidikan Fisika Universita Jember mulai berjalan.

Setelah membuka pintu dan keluar untuk melihat langit ternyata awan terlihat cukup tebal. Lah, kok awan tebal bisa saya lihat? Pasti ada sumber cahaya yang cukup terang yang mengakibatkan awan terlihat. Dan ternyata benar, Bulan sekalipun terhalangi oleh awan tipis dapat saya lihat dengan baik dan terlihat sisi utara bulan terlihat lebih gelap. Segera saya informasikan ke Kiai Ghazalie. “Gerhananya terlihat Kyai,” kata saya. “Direkam tidak? Bapak khan punya alat-alat canggih untuk merekamnya?”

Waduh, bingung juga. Keinginan utk merekam tentu saja ada, namun karena cuaca dan juga waktu yang sudah mendekati waktu berangkat untuk menghantar tetangga untuk umroh membuat bimbang. Kalau tidak saya abadikan saya tidak punya bukti otentik akan Gerhana Bulan Sebagian yang terjadi.

Akhirnya saya putuskan untuk memotret dengan kamera digital poket dan teleskop kecil yang biasa utk rukyat seperti yang dimiliki NUMO.

Setelah membangunkan Mas Fahri Ahmad, seorang hafidz dari tebuireng dan mahasiswa pasca Unisba yang senang dengan Astronomi dan sering membantu dalam kegiatan pengamatan. Saya memilih eyepieces 20mm FoV72mm dan Smart Goto Mounting dari ioptron (www.ioptron-indonesia.com) untuk melengkapi teleskop yang akan saya gunakan.

Tujuan pengamatan kali ini adalah mengabadikan GBS sebagai bukti otentik penampakan GBS dimana hanya sedikit dari permukaan bulan yang memasuki umbra Bumi.  Meski berdasar pengalaman dalam mengabadikan Gerhana Penumbra, secara pribadi meyakini GBS dapat diamati dan diabadikan dengan mudah. BS kali ini memang sedikit 'krusial' bagi Lajnah Falakiyyah NU, khususnya bagi KH. Ghozalie selaku Nahkoda LFNU. Hal ini saya yakini karena sejak dua hari sebelumnya Beliau mengkonfirmasi mengenai berbagai hal berkaitan dengan GBS, khususnya mengenai informasi GBS yang dimuat di kalender PBNU yang menyatakan tidak disunnahkan melakukan sholat Gerhana. Meskipun informasi berkenaan dengan kesunnahan shalat gerhana tersebut kemudian sedikit diralat.

Dalam menghadapi gerhana, umat Islam disunnahkan untuk melaksanakan sholat sunnah, takbir dan shodaqoh. Meski demikian ada sedikit perbedaan dalam memandang gerhana tersebut. Apakah kesunnahan tersebut karena terjadinya gerhana, karena melihat gerhana atau karena kemungkinan melihat gerhana.

Sebagian besar ahli falak di lingkungan Nadhliyyin meyakini tidak ada kesunnahan melaksanakan sholat gerhana ketika Gerhana Bulan Penumbra karena perubahan wajah bulan dalam fase purnama dan gerhana penumbra tidak dapat dikenali dengan mudah dengan mata telanjang. Berbeda dengan GBS. Namun jika GBS hanya sedikit seperti tadi malam bagaimana?.

Dari pengamatan secara visual, terlebih dengan detektor digital terlihat dengan baik adanya GBS, sekalipun kecil. Sehingga kelak, jika terjadi gerhana bulan sebagian lagi dapat diupayakan untuk melaksanakan sholat gerhana secara berjama'ah.

Karena harus segera berkumpul untuk menghantar calon jama'ah Umroh terpaksa meninggalkan teleskop yang sedang mengamati Gerhana. Setelah memberi 'short course' mengoperasikan teleskop dan memotret, pengamatan dilanjutkan seorang diri oleh Mas Fahri dengan modus video. Dari rekaman tersebut dapat dilihat perubahan gradual secara berlahan wajah bulan menuju Purnama diiringi dengan kokok ayam dan suara binatang malam. Video rekaman sedang dalam proses untuk diunggah di youtube.

Labbaik ya Allah, semoga di malam Gerhana Bulan ini Engkau berkenan mengabulkan doa hambaMu ini.  Terimalah Ibadah Umroh tetatngga saya dan semoga Engkau memberi kesempatan bagi hamba dan Keluarga untuk turut menunaikan Umroh dan Haji ke rumahMu.  Labbaik ya Allah.

 

Hendro Setyanto (Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU)