Nasional Haul Sunan Ampel

Meneladani Dakwah Sunan Ampel

Sab, 13 Mei 2017 | 12:53 WIB

Surabaya, NU Online
Sabtu tanggal 13 Mei 2017 bertepatan dengan 16 Sya'ban 1438 H merupakan puncak acara Haul Agung Sunan Ampel. Kegiatan pada hari kedua ini dimulai dari ba'da Subuh dengan khataman Al-Qur'an bil ghoib yang bertempat di Masjid Agung Sunan Ampel bangunan lama (pria) dan bangunan baru (wanita).

Pada sore harinya, ba'da Ashar, diadakan kirab dari Kampung Margi menuju Makam Sunan Ampel. Rangkaian agenda haul Sunan Ampel itu kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Yasin dan Tahlil yang dipusatkan di kawasan maqbaroh Sunan Ampel, Surabaya.

Berikutnya acara pembacaan napak tilas Sunan Ampel oleh  Habib Luthfi bin Yahya, bertempat di Makam Sunan Ampel. Setelah isya', ada pengajian umum di bangunan lama Masjid Agung Sunan Ampel.

Habib Luthfi tepat di samping pusara Raden Rahmat, nama Sunan Ampel, menyampaikan dengan sangat tegas bahwa jangan coba-coba menghancurkan Indonesia selagi masih ada Sunan Ampel, Walisongo dan para ulama.

"Sunan Ampel sudah ratusan tahun meninggalkan kita. Tapi beliau mampu mempersatukan bangsa. Mampu meningkatkan perekonomian umat," lanjut Habib Luthfi.

Masyarakat dihimbau agar selalu mengingat pesan dan meninjau sejarah yang pernah dilakukan oleh para Walisongo saat syiar agama Islam di Tanah Air yang penuh kedamaian.

Selain ribuan umat Islam dari Surabaya dan daerah lainnya, tampak hadir juga Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, pengurus PWNU Jatim dan beberapa masyayikh dan habaib yang lain.

"Saya sangat bersyukur berkesempatan hadir dalam acara haul Sunan Ampel yang ke 568. Ini tentu tradisi yang sangat baik, terus dijaga, mudah-mudahan kita terus mendapat berkah," kata Menag di Makam Sunan Ampel, Sabtu (13/5) sore.

Menilik sejarah panjang penuh dengan keindahan tersebut, dari sunan Ampel dan walisongo masyarakat dan bangsa, saatnya semua untuk belajar menyatukan umat terkait peneguhan identitas diri, harmoni kehidupan keagamaan dan kebangsaan.

Islam yang dibawa oleh Walisongo tidak mengajarkan kemarahan, tetapi keramahan; tidak memukul, tetapi merangkul; tidak mengejek, tetapi mengajak; tidak eksklusif (tertutup/kaku), tetapi inklusif (terbuka/luwes); dan tidak menggurui, namun menjamui.(Rof Maulana/Zunus)