Jakarta, NU OnlineÂ
Menteri Agama H. Lukman Hakim Saifuddin membedakan hukuman bagi koruptor yang melakukan dengan sengaja dan tidak disengaja atau khilaf. Korupsi tidak disengaja seperti kesalahan dalam pembukuan, pencatatan, atau pertanggungjawaban.
"Jadi, kalau karena kekhilafan tidak ada kesengajaan untuk diri sendiri atau golongan orang, ini sifatnya sesuatu masih "ditolerir" dengan hukuman yang tidak sama dengan kesalahan yang kedua, yaitu kesalahan disengaja atau kejahatan,"katanya saat menjadi pembicara pada Ngobrol Santai Anti Korupsi di Sekretariat Indonesia Corruption Watch di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (8/6).
Terkait dengan laku korupsi yang disengaja, Menag menyayangkan karena sebagian masyarakat beragama kurang menghayati fungsi beragama itu.
"Kita masih memaknai fungsi yang  personal. Jadi, agama itu seakan-akan hanya vertikal, beribadah kepada Tuhan dan berhenti disitu,"katanya.Â
Padahal, katanya, Islam maupun agama yang lain itu sama-sama mempunyai aspek sosial, kesalehan sosial.Â
"Agama itu bukan untuk Tuhan, tapi untuk sosial, untuk masyarakat kita semua karena agama itu untuk memanusiakan manusia, "katanya.Â
Ia pun berharap agar persoalan korupsi tidak hanya menjadi beban para pemuka agama, melainkan semua masyarakat yang bertanggung jawab terhadap bumi ini.Â
"Ini yang menurut saya menjadi kewajiban kita semua tidak hanya tokoh-tokoh agama, tapi kita semua untuk menyambungkan bahwa beragama itu adalah mengatasi persoalan-peesoalan sosial, "terangnya.
Pada acara yang bertema "Masih Haramkah Korupsi?" itu dihadiri pembicara lain; Wakil Sekretaris Lakpesdam NU Muhammad Idris Mas'udi Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono, dan Juru Bicara KY Farid Wajdi. (Husni Sahal/Abdullalh Alawi)