Nasional

Memaknai Ulang Gerakan Kebudayaan Usmar Ismail

Sel, 20 Maret 2018 | 15:30 WIB

Jakarta, NU Online
Lahir pada tanggal 20 Maret 1921, Usmar Ismail menjadi aktor penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Ia terpilih menjadi ketua umum pertama Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi).

Koordinator Nasional Forum Komunikasi Gerakan Muda Nahdlatul Ulama (FK GMNU) Amsar A Dulmanan mengungkapkan pemikiran Usmar Ismail belum terimplementasi pada gerakan NU semenjak wafatnya pada 2 Januari 1971.

“Karena NU sudah menjadi gerakan politik,” kata Amsar di kantor NU Online, gedung PBNU lantai 5, Jalan Kramat Raya Nomor 164, Jakarta, Selasa (20/3).

“Kepentingan politiknya meletakkan Pancasila secara murni dan konsekwen,” imbuhnya.

Sumbangsih Lesbumi dalam menguatkan NKRI, menurut Amsar, adalah memberikan warna baru pada gerakan kebudayaan dalam pemihakan terhadap spiritualitas umat dalam ruang kesadaran politik baru, bukan malah mempolitisasi gerakan kebudayaan untuk kepentingan sesaat.

“Jadi sebuah identifikasi kultural sudah include merupakan representasi dari pemahaman keagamaan NU yang diindonesiakan,” ujarnya.

Namun NU berubah kembali sejak tahun 1984 saat Gus Dur mulai mewacanakan demokratisasi. Gus Dur melakukan pemaknaan baru tentang gerakan kultural NU.

“Pemikiran Gus Dur diterjemahkan ulang bagaimana redefinisi paham keagamaan terintegrasi dengan paham keindonesiaan,” katanya.

Dari sini, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu menyatakan bahwagerakan kebudayaan NU harus mengimplementasikan pemaknaan ulang sebagai spiritualitas.

“Kaidah NU dan gerakan tasawufnya masuk sebagai gerakan budaya,” ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa kebudayaan yang digerakkan NU harus dilakukan untuk membesarkan nilai NU dan menumbuhkan keagamaan.

“Jadi agama tidak hanya dipahami secara syariat, tetapi juga secara kultur,” tegasnya.

Hal yang penting, menurut aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu, generasi NU harus hadir mengimplementasikan kontekstualisasi nilai-nilai NU sebagai gerakan kebudayaan.

“Dan memang harus belajar dari gerakan Usmar Ismail,” katanya.

“Bagaimana menjaga dan memperbaharui tradisi itu sesungguhnya jargon kebudayaan, bukan jargon keagamaan,” pungkasnya. (Syakir NF/Muiz)