Nasional

Melalui Fatwa, Ajaran Islam Terus Berkembang Sesuai Masanya

Sen, 22 Juni 2020 | 16:00 WIB

Melalui Fatwa, Ajaran Islam Terus Berkembang Sesuai Masanya

Habib Salim juga membolehkan beragam tradisi yang berlangsung di Nusantara, seperti pembacaan Maulid, Diba’, dan Burdah dengan berdiri; ziarah kubur; pemanfaatan teknologi dalam sarana beragama, khutbah Jumat berbahasa Indonesia, resepsi pernikahan Suku Jawa, hingga hukum memasuki gereja

Jakarta, NU Online

Fatwa lahir atas problematika yang terjadi di masanya. Tak ayal, produk hukum Islam ini disebut sebagai sesuatu yang menunjukkan kontekstualisasi Islam pada eranya.


“Melalui fatwa inilah, ajaran Islam terus berkontekstualisasi, mampu terus berkembang sesuai dengan masanya, tanpa harus memutus tali sejarah,” ujar Habib Ismail Fajrie Alatas saat bedah buku Fatwa-Fatwa Habib Salim bin Jindan yang ditulis oleh Ibnu Harish pada Ahad (21/6) malam.


Menurutnya, kita harus memahami dan memaknai fatwa bukan sekadar sebagai produk hukum itu sendiri, melainkan juga sebagai persinggungan antara ruang dan waktu kekinian dengan sejarah yang panjang. 


“Fatwa menjadi produk sebuah zaman. Dialog antara penanya dan yang menjawab itu ada di sebuah ruang waktu historis yang partikulir di sebuah zaman kurun waktu,” katanya.


Lebih dari itu, Asisten Profesor di Universitas New York, Amerika Serikat itu juga menyatakan bahwa fatwa merupakan karya bersama. Kitab fatwa yang berjudul  Al-Ilmam bi Ma’rifah al-Fatawa wa al-Ahkam, menurutnya, bukan hanya karya Habib Salim, tetapi juga karya penanyanya.


Bib Aji, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa fatwa itu sifatnya membimbing kaum muslimin yang sezaman. Sebab, di situlah seorang ulama terpanggil untuk menjawab beragam pertanyaan yang disampaikan kepadanya.


“Di bawah struktur ini, ada relasi kasih sayang. Seorang yang berilmu memberikan jawaban dengan maksud membimbing sang penanya,” terangnya.


Kontekstualisasi Fatwa Habib Salim

Penulis buku Fatwa-Fatwa Habib Salim bin Jindan Ibnu Harish menjelaskan bahwa di antara fatwa ulama yang lahir di Surabaya ini adalah soal kebolehan mencukur jenggot dan kumis. Secara kultural, Habib Salim tidak melepaskan budaya Indonesia, meskipun ulama-ulama Hadromi atau nenek moyangnya menganggapnya sebagai sesuatu yang haram.


“Tapi beliau berbeda pendapat terkait hal itu. Menurut beliau mencukur jenggot dan kumis itu diperbolehkan,” kata Harish.


Di samping itu, Habib Salim juga berfatwa mengenai legalitas memakai celana panjang. Ia mengkritik pengafiran Muslim yang berpakaian ala bangsa Eropa. Pandangan terkait larangan penggunaan celana panjang memang ada sebagai sebuah gerakan melawan Belanda melalui fatwa keagamaan.


“Sikapnya lebih moderat dan membolehkan orang Muslim memakai celana dan sebagainya,” ujar alumnus Pondok Pesantren Darussunnah, Tangerang Selatan, yang diasuh oleh Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) almaghfurlah Prof KH Ali Mustofa Yaqub itu.


Habib Salim juga membolehkan beragam tradisi yang berlangsung di Nusantara, seperti pembacaan Maulid, Diba’, dan Burdah dengan berdiri; ziarah kubur; pemanfaatan teknologi dalam sarana beragama, khutbah Jumat berbahasa Indonesia, resepsi pernikahan Suku Jawa, hingga hukum memasuki gereja.


Terkait hal terakhir, masuk gereja, Ibnu Harish menyebut bahwa fatwa Habib Salim merupakan fatwa paling awal. Tentu saja memasuki tempat ibadah agama lain itu boleh dengan alasan tertentu, seperti guna perdamaian.


“Seperti kita lihat seperti Syekh Ahmad al-Tayyeb berkunjung ke gereja untuk tujuan komunikasi antaragama beliau membolehkan. Di akhir, beliau juga mempertegas kalau tidak ada keperluan komunikasi dialog antarumat beragama gak perlu juga masuk gereja,” pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi