Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) Abdul Ghopur menerangkan, prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh dari generasi muda.
“Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi Mei 1998,” jelasnya dalam acara peringatakan Harlah ke-5 LKSB yang dibarengi peluncuran buku Indonesia Rumah Kita dan Refleksi Sumpah Pemuda, Selasa (31/10) di Gedung PBNU Jakarta.
Menurutnya, ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena; pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya.
Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara.
“Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan,” kata Ghopur.
Menurutnya, jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman.
“Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif,” terangnya.
Kedua, sambung Ghopur, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta, “panitia kesejahteraan rakyat.”
“Padahal, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD ’45 (Proklamasi 17 Agustus 1945) adalah fakta sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat diingkari dan wajib kita jaga dan rawat, setia sekaligus menolak segala bentuk dan paham apa pun yang berseberangan bahkan bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara,” urai Ghopur. (Fathoni)