Lima Pemikiran Kritis yang Perlu Dimiliki Mahasiswa Islam
NU Online · Selasa, 3 Maret 2015 | 04:01 WIB
Bandung, NU Online
Saat ini mahasiswa perlu konsentrasi memikirkan kelemahan mendasar dari umat Islam yang kurang memiliki pemahaman tentang hakikat hidup berbangsa dan bernegara melalui pandangan kewargaan.
<>
Demikian dikatakan Dr. Asep Salahudin, peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakspesdam) Jawa Barat di hadapan puluhan mahasiswa Jurusan Syariah Universitas Islam Negeri Bandung (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dalam diskusi "Apa itu Civic-Islam" di kampus setempat, Jumat (27/2) lalu.
Dalam pandangan studi kewargaan ala civic-Islam, umat Islam selalu gagal dalam urusan kenegaraan karena lebih mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan lupa akan substansi perjuangan hakiki Islam, yakni memperjuangkan umat, terutama kelompok masyarakat lapisan bawah.
"Ketika sudah berbicara âIndonesiaâ maka segenap ihwal pra politik etnik, agama, dan seterusnya harus ditanggalkan dan lebih berpikir pada substansi perjuangan. Menanggalkan identitas, misalnya identitas Islam itu bukan berarti meninggalkan Islam, tetapi supaya lebih berfokus pada upaya perwujudan Islam yang sejati dalam arena politik yang dijalankan," jelasnya.
Dengan memandang realitas gagalnya Islam-Politik dan kemandulan demokrasi saat ini, Salahudin berharap mahasiswa-mahasiswa bersikap kritis terhadap realitas politik Indonesia saat ini. Menurutnya, kebangsaan Indonesia, meliputi tanah air, bangsa dan bahasa, bukan bertaut dengan sentimentalisme agama, etnik dan sentimen sempit lainnya.
"Tanpa harus melakukan formalisasi agama, puritanisasi etnisitas, justru kita akan masuk dalam jantung penghayatan keagamaan yang subtil. Sejarah sumpah pemuda misalnya, memakai agama sebagai âdaya keyakinanâ, bukan sebagai identitas untuk melakukan perlawanan terhadap kaum penindas/kolonial,â tuturnya.
Surat Al-Maun, lanjutnya, di tangan KH Ahmad Dahlan menjadi teks yang menyadarkan pentingnya trasformasi ekonomi, tradisi di tangah KH Hasyim Asyari benar-benar bisa dipadupadankan dengan kekuatan kultur lokal dan pada saat yang sama tidak menghilangkan sikap kritis kepada Hindia-Belanda.
Berpihak pada semangat kebangsaan tersebut, Salahudin menilai, saat ini mahasiswa muslim yang berada di pergerakan seperti HMI, PMII, KAMMI, KMNU dan lain sebagainya perlu memiliki paradigma yang konkret dan realistis terkait realitas Indonesia saat ini dengan beberapa hal penting.
"Pertama, mahasiswa harus punya hubungan sinergis dengan warga sebagai basis perjuangan. Kedua, menumbuhkan spirit intelektualisme dan keberagamaan dengan kesadaran permasalahan territorial tetapi berpijak pada keindonesiaan dan keislaman yang universal,â paparnya.
Sementara ketiga, tambahnya, melihat multikulturalisme kewargaan sebagai realitas harian yang harus disikapi secara lapang, kritis terhadap problem-problem kehidupan dari arus liberalisme, neo-liberalisme, konservatisme, dan radikalisme agama untuk dicarikan jawabannya; dan keempat, kritis menyikapi politik khilafah, Wahabisme dan yang sehaluan dengan itu karena memang tidak mencerminkan sikap politik Islam sejati dan a-historis, bahkan sekadar menampakkan kebuntuan akal sehat.
âDan kelima, mahasiswa juga harus kritis pada soal ruang publik agar warga Indonesia tetap memiliki semangat hidup yang sehat dengan agena partisipasi dan deliberasi," jelasnya. (Yusuf Makmun/Mahbib)
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua