Nasional

Lembaga Falakiyah PBNU Jelaskan Dinamika Fiqih NU terkait Sidang Isbat dan Hukmul Hakim

Rab, 27 Maret 2024 | 17:45 WIB

Lembaga Falakiyah PBNU Jelaskan Dinamika Fiqih NU terkait Sidang Isbat dan Hukmul Hakim

Kegiatan rukyatul hilal di Ponorogo. (Foto: NU Online Jatim/Husnul Khotimah)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) KH Abdussalam Nawawi menyoroti dinamika terkait penentuan awal bulan menurut fiqih NU yang berpegang pada rukyat murni hingga rukyat dan hisab terkait sidang Isbat dan hukmul hakim (ketetapan pemerintah).


Pada era fiqih "Rukyat Murni", keputusan Munas Alim Ulama NU Situbondo pada 1404 H/1983 M yang diperkuat keputusan Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap 1408 H/1987 M menegaskan, jika penetapan yang dilakukan pemerintah didasarkan pada rukyat hilal atau istikmal, maka warga NU wajib mengikuti dan menaatinya. Namun, jika hanya berdasarkan hisab, warga NU tidak diwajibkan mengikutinya.


"Jika penetapan pemerintah rukyat hilal atau istikmal, warga NU wajib mengikuti dan menaatinya. Jika hanya berdasarkan hisab warga NU tidak wajib mengikuti dan mentaatinya," jelas Kiai Abdussalam Nawawi melalui keterangan tertulis yang diterima NU Online, pada Selasa (26/3/2024).


Dalam catatannya, pernah terjadi perbedaan antara putusan resmi pemerintah dan laporan rukyat NU dalam penetapan awal bulan hijriah. Sebagai contoh, pada Idul Fitri 1412 hingga 1414 H terdapat perbedaan antara hasil sidang Isbat pemerintah dan ikhbar PBNU.


Hasil Isbat pemerintah dan Ikhbar NU pada era Fiqih Rukyat Murni tercatat mengalami perbedaan selama tiga tahun berturut-turut. 


Pertama, pada Idul Fitri 1412 H, di mana Isbat pemerintah era Menteri Agama (Menag) Munawir Sjadzali menetapkan 1 Syawal jatuh pada 5 April 1992, sementara Ikhbar NU menyatakan 1 Syawal jatuh 4 April 1992.


"Isbat Pemerintah era Menag Munawir Sjadzali 5 April 1982, berdasarkan hisab akurat sebagai menganulir laporan rukyat NU, Ikhbar NU pada 4 April 1992 berdasarkan rukyat. Alasan fiqih: Isbat pemerintah, sesuai fiqih NU era rukyat murni, tidak wajib diikuti karena menggunakan hisab untuk menganulir laporan rukyat," paparnya.


Perbedaan juga terjadi pada Idul Fitri 1413 H/1993 M. Isbat pemerintah di era Menag Tarmizi Taher mengumumkan 1 Syawal jatuh pada 25 Maret 1993, sedangkan Ikhbar NU menetapkan 24 Maret 1993 dengan pertimbangan fiqih yang serupa pada 1992.


Namun, seiring dengan evolusi zaman, fikih NU bertransisi dari rukyat murni menuju rukyat dan hisab. Pada era ini, PBNU mensyaratkan imkan rukyat, yaitu tinggi mar'i hilal menurut hisab yang akurat minimal 2 derajat.


Dalam konteks ini, penentuan Idul Fitri 1418 H versi pemerintah dan Ikhbar PBNU jatuh pada tanggal yang sama, yakni 30 Januari 1998.


"Pada penentuan Idul Fitri 1418 H, PBNU, sama dengan pemerintah, menganulir laporan rukyat PWNU Jatim karena hilal belum imkan rukyat menurut hisab yang akurat. Isbat Pemerintah (Menag Tarmizi Taher): 30 Januari 1998, Ikhbar PBNU: 30 Januari 1998," jabarnya.


Meski begitu, ia menuturkan bahwa hingga 2006, fiqih hisab dan rukyat PBNU belum merata diikuti seluruh jajaran organisasi NU yang ditandai oleh muncul ikhbar berbeda dari PWNU Jatim yang masih kuat mencerminkan fiqih era rukyat murni.


Dengan demikian, di era perhitungan falak NU yang menggunakan rukyat murni, Ikhbar NU kerap berbeda dengan putusan Isbat pemerintah. Sedangkan di era rukyat dan hisab, Ikhbar NU menjadi sama dengan Isbat pemerintah.


"Lebih-lebih, setelah fiqih rukyat dan hisab dikukuhkan MUI (fatwa Desember 2003) sebagai dasar penetapan awal bulan di Indonesia," katanya.


Adapun perbedaan ikhbar NU dengan isbat pemerintah terutama terjadi ketika hukmul hakim hanya berdasarkan hisab, sehingga tidak memenuhi syarat wajib diikuti menurut fiqih NU.


"Hukmul hakim di NU tidak pernah tidak mengemuka. Kalau Ikhbar NU pernah beda dengan Isbat, maka itu disebabkan karena hukmul hakim ketika itu hanya berdasarkan hisab sehingga menurut fiqih NU, tidak memenuhi syarat wajib diikuti," paparnya.


Dinamika Ikhbar NU dari perbedaan menjadi kesamaan dengan isbat pemerintah terjadi pada era yang sama, yaitu era Menag Tarmizi Taher. Hal ini menegaskan bahwa dinamika ini tidak terkait dengan siapa menteri agamanya, melainkan merupakan refleksi dari evolusi fiqih NU dalam menentukan awal bulan berdasarkan rukyat dan hisab.


"Dengan kata lain, dinamika Ikhbar NU bukan bertolak dari sikap angin-anginan NU terhadap hukmul hakim. Juga tidak terkait siapa menteri agamanya. Dinamika ikhbar NU (dari beda jadi sama) itu terjadi pada era Menag yang sama yang notabene bukan orang NU, yakni Tarmizi Taher," bebernya.


Selain itu, terjadi transformasi dalam penentuan awal bulan menurut fiqih NU dari 'rukyat yang dibingkai dengan kebenaran formal' menuju 'rukyat yang juga berselaras dengan kebenaran material'.