Nasional

LBM NU Jabar: Lihat Gambar Porno Haram

Ahad, 10 Juni 2012 | 03:15 WIB

Bandung, NU Online
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat kembali menggelar Lailatul Ijtima' dengan Istighotsah dan Bahtsul Masail yang di laksanakan oleh Lembaga Batsul Masail NU (LBM-NU).<> 

Bahtsul Masail yang digelar pada Jumat malam (8/6) di mesjid PWNU Jalan Terusan Galunggung No. 9 membahas tiga masail (tema), pertama hukum melihat gambar porno dalam kajian fiqih, kedua hukum pernikahan yang disertai pelangaran ketentuan undang-undang yang berlaku, ketiga hukum mengenakan pakaian berbahan sutera.

Ketua LBM- NU Jawa Barat, Dr. Mujiyo Nurkholis beralasan kenapa dalam bahtsul masail kali ini tema yang diangkat adalah hukum melihat gambar porno dalam kajian fiqih, sebab ada isu bahwa seorang ulama menghalalkan melihat gambar porno.

"Hasil dari batsul masail ini, menyatakan bahwa para ulama sepakat melihat gambar porno hukumnya haram," ungkapnya.

Kriteria gambar porno dalam kajian fiqh adalah gambar yang memperlihatkan aurat. Seluruh tubuh wanita adalah aurat bagi laki-laki yang bukan mahramnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan sebagian ulama mengharamkan melihat wajah dan telapak tangan wanita apabila disertai syahwat. Sedangkan aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusat dan lutut.

Kesepakatan tersebut menurutnya, berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW. yang melarang melihat dan memperlihatkan aurat. Kesan yang muncul dari larangan tersebut adalah larangan melihat aurat secara langsung, maka para ulama berbeda pendapat mengenai keharaman melihat aurat melalui bayangan dalam air atau kaca.

Adapun aurat dalam gambar (fotografi) merupakan persoalan baru yang belum dibahas dalam kitab-kitab klasik. Atas dasar kesamaan dampak dari melihat aurat secara langsung dan dalam gambar, yaitu menimbulkan syahwat yang ujungnya mengarah kepada pelampiasan seksual, seperti onani dan zina, maka disepakati bahwa melihat gambar porno atau aurat dalam gambar adalah haram, baik gambar yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

"Dengan keputusan tersebut diharapkan masyarakat, warga NU khusunya, tidak perlu bingun lagi," tutur Dr. Mujiyo Nurkholis.

Diskusi bahtsul masail kali ini menghadirkan dua orang pembahas utama, Katib PWNU Jabar yang juga seorang Guru Besar Ushul Fiqh UIN Bandung, Prof. Dr. KH Rachmat Syafei, MA., sebagai penganalisa dan seorang Wakil Rois PWNU Jabar, KH Kholil Anwar, sebagai pemberi legalitas putusan.

Putusan lainnya adalah keharaman nikah yang disertai pelanggaran ketentuan undang-undang, yaitu nikah yang tidak dicatat menurut undang-undang yang berlaku dan nikah kedua dalam kasus poligami yang tidak memperoleh izin Pengadilan.

Semula sebagian peserta keberatan dengan jawaban sementara yang dilontarkan oleh LBM-NU Jabar ini. Mereka menganggap bahwa posisi fiqh (hukum Islam) di Indonesia lemah karena terikat oleh Undang-undang. Dengan penuh kearifan para kiai senior, seperti KH Jejen dari Sukabumi, Rois Syuriah PCNU Sumedang, Syuriah PCNU Kota Bandung, dan kedua pembahas utama, menegaskan bahwa rumusan fiqh yang ada dalam kitab-kitab fiqh belum memiliki daya ikat yang kuat, maka kehadiran Undang-Undang Perkawinan, khususnya, merupakan pelengkap rumusan fiqh tersebut dengan daya ikat yang sangat kuat.

Alasan secara ushul fiqh bahwa pencatatan dan perizinan Pengadilan dihukumi wajib karena merupakan satu instrumen sadd al-dzari`ah (preventif) untuk menghindarkan terjadinya kerugian salah satu pihak, terutama istri dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Kedua pembahas utama mengemukakan sejumlah kasus kerugian yang terjadi, di antaranya dalam kasus pernikahan antara Drs. Moerdiono (alm) dan Machicha Muchtar yang tidak dicatat menurut Undang-undang yang berlaku dan tidak mendapatkan izin Pengadilan.

Ketua LBM-NU Jabar menambahkan seraya mengingatkan bahwa fiqh NU adalah fiqh shufi, di mana salah satu kriteria perbuatan dosa menurut Rasulullah Saw. adalah Maa haaka fii nafsika wa karihta an yaththoli`a `alaihin naas (Suatu tindakan yang menimbulkan keresahan dalam hati dan tidak suka diketahui orang lain). Oleh karena itu, seorang suami yang menikah lagi tapi tidak mau ketahuan istri pertamanya, maka pernikahan yang kedua adalah haram baginya, katanya.

Kesimpulan dari pembahasan tema kedua ini adalah bahwa apabila telah memenuhi seluruh syarat dan rukun nikah serta tidak mengandung unsur yang membatalkan atau merusak nikah, maka nikahnya adalah sah, tapi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang berarti tidak menaati ulil amri dan menunjukkan adanya itikad yang tidak baik.

Sedangkan masail ketiga belum sempat dibahas karena pertimbangan waktu. Bahtsul masail ini selain membagun sillaturahim antara pengurus dan tokoh NU, diharapkan juga bisa memberikan jawaban kepada Umat mengenai permasalahan mereka, terutama permasalahan agama.

"Apa yang menjadi permasalahan agama, dengan bahtsul masail Insya Allah kita jawab berlandaskan acuan yang lazim dipergunakan para ulama," pungkasnya.


Redaktur : Sudarto Murtaufiq
Kontributor : Zaenal Mutaqin