Nasional

LBH Ansor Dampingi Aktivis yang Ditahan saat Aksi Tolak UU Cipta Kerja

Sab, 10 Oktober 2020 | 04:45 WIB

LBH Ansor Dampingi Aktivis yang Ditahan saat Aksi Tolak UU Cipta Kerja

LBH Ansor mengungkapkan banyak aktivis buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang ditahan saat melangsungkan unjuk rasa menyuarakan aspirasi menolak UU Cipta Kerja. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor H Abdul Qodir mengungkapkan bahwa banyak aktivis buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang ditahan saat melangsungkan unjuk rasa menyuarakan aspirasi menolak UU Cipta Kerja.

 

Bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi dan LBH Ansor yang tersebar di 60 wilayah seluruh Indonesia, mencatat pada Rabu (7/10) lalu ada sekitar 200 aktivis. Kemudian pada Kamis (8/10) ada 800 orang. Sementara Jumat (9/10) terdapat lebih banyak lagi aktivis yang ditahan polisi.

 

"Di Polda saja hari ini masih banyak yang ditahan," jelas Abdul Qodir, saat dihubungi NU Online, pada Jumat (9/10) petang, kemarin.

 

LBH Ansor, lanjutnya, mendapat ratusan aduan dari masyarakat saat unjuk rasa berlangsung. Aduan terkait anak, kerabat, kawan yang belum jelas keberadaannya setelah mengikuti aksi tolak Omnibus Law.

 

Menurutnya, Kepolisian RI yang perlu memberikan penjelasan kepada publik berapa jumlah yang ditangkap. Karenanya LBH Ansor mendesak Kepolisian RI perlu untuk segera memberikan data ke publik terkait berapa banyak jumlah demonstran yang ditangkap, berapa banyak yg sudah dilepaskan, yang masih belum dilepaskan dan sebagainya perlu ada transparansi.

 

"Juga perlu memberikan alasan-alasan penangkapan yang jelas dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk para advokat memberikan pendampingan hukum," imbuhnya.

 

Dari catatan yang diungkapkan Abdul Qodir, aduan tersebut dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, dari kalangan orangtua pelajar dan mahasiswa yang anaknya diketahui berangkat untuk ikut menyuarakan aspirasi di lapangan.

 

"Di beberapa daerah memang ada yang ditahan di beberapa polres dan polda setempat. Kedua, LBH Ansor juga menerima laporan aduan dari orangtua yang memiliki anak di bawah umur dan hilang," tambahnya.

 

"Jadi banyak kawan-kawan yang minta bantuan kita (LBH Ansor) dalam pendampingan para aktivis yang ditahan di berbagai polres. Seperti di Jakarta, Cirebon, Tangerang, dan Sukabumi," tutur Qodir. 

 

Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa LBH Ansor digerakkan untuk melakukan pendampingan  dan memantau secara bergantian dengan lapisan masyarakat sipil lainnya. 

 

"Karena memang ini benar-benar sangat banyak aktivis atau kawan-kawan mahasiswa, pelajar, dan buruh yang ditangkap petugas dan memang butuh sekali pendampingan," kata Qodir.

 

Langkah berikutnya, setelah mendapatkan banyak aduan dari berbagai kalangan, LBH Ansor kemudian mengecek langsung dan berkomunikasi dengan aktivis yang tergabung di Tim Advokasi untuk Demokrasi itu.

 

"Kami datangi Polres dan berkoordinasi dengan kepolisian. Di beberapa daerah sikap polisi berbeda. Ada yang kooperatif mau diajak kerja sama, tetapi ada juga yang menghalang-halangi kita. Belum lagi ada juga polisi yang merumitkan prosedur," jelas Qodir.

 

Sebelumnya telah diberitakan, pada Selasa (6/10) sejak sehari setelah UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR dan Pemerintah, Senin (5/10) lalu, terdapat gelombang penolakan yang sangat besar dari kalangan aktivis mahasiswa dan buruh.

 

Puncaknya terjadi pada Kamis (8/10), yang para demonstran di Ibu Kota memusatkan titik aksi di depan Istana Negara Jakarta. Sementara di beberapa daerah, titik aksi berpusat di pusat pemerintah setempat dan Gedung DPRD masing-masing daerah.

 

Dari kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga keras menyuarakan aspirasi untuk menolak UU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah dan berpotensi merugikan masyarakat.

 

Jumat (9/10) kemarin, melalui konferensi pers dan rilis yang diterima NU Online, DPP K-Sarbumusi telah mengeluarkan sikap resmi yang menolak UU Cipta Kerja, karena dinilai terlalu premature dan berpotensi melegalkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

 

"Setelah melakukan kajian yang mendalam serta melakukan serangkaian diskusi dengan berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu dan bidang, baik yang pro maupun kontra terhadap RUU ini, DPP K-Sarbumusi secara umum menilai RUU Cipta Kerja ini terlalu prematur untuk dibahas apalagi disahkan," kata Presiden Sarbumusi H Syaiful Bahri Anshori. 

 

Dikatakan, UU Cipta Kerja cenderung berorientasi kepada  kebijakan perburuhan ramah pasar dengan karakter neoliberalisme yang kuat. Itu ditandai dengan deregulasi, fleksibilitas, efesiensi serta penarikan peran dan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya.


Sementara itu, PMII juga menolak hadirnya UU Cipta Kerja yang dianggap hanya menguntungkan kelompok korporasi dan konglomerat semata. Lebih lanjut, PMII juga menyangkan serta mengecam keras perlakuan represif aparat kepolisian.

 

Sikap arogan aparat telah merugikan massa aksi utamanya kader PMII di beberapa daerah. Bahkan ada di antara mereka yang kritis dan harus mendapatkan perawatan yang intensif. 

 

Ketua Kaderisasi Nasional Pengurus Besar (PB) PMII Muhiddin Nur mengatakan, PMII akan konsisten melakukan aksi protes kepada pemerintah dan DPR sampai UU Cipta Kerja benar-benar pro terhadap kepentingan rakyat.

 

Protes itu, lanjutnya, akan dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan cara aksi. Sebab, dia tidak ingin pihak aparat bersikap seperti preman karena telah merugikan massa aksi dari organisasi kemahasiswaan.

 

Tak hanya itu, sikap aparat tersebut hanya akan memperkeruh perjuangan PMII dalam mendorong hadirnya keadilan bagi masyarakat. Kemudian, kata Muhidin, gerakan yang dilakukan PMII merupakan wujud dan cara untuk menyikapi realita sosial serta bentuk keberpihakan PMII terhadap kepentingan rakyat.  


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan