Nasional

Lantik 4 Rektor, Kiai Said: PTNU Harus Jadi Pusat Peradaban Nahdliyin

Kam, 28 Januari 2021 | 10:30 WIB

Lantik 4 Rektor, Kiai Said: PTNU Harus Jadi Pusat Peradaban Nahdliyin

Ketum PBNU, Kh Said Aqil Siroj. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj berharap, perguruan tinggi Nahdlatul Ulama agar menjadi pusat peradaban. Bahkan ia berkeinginan, agar Perguruan Tinggi NU (PTNU) menjadi pusat kajian intelektual bagi para mahasiswa dan masyarakat Nahdliyin. 


Hal itu disampaikannya saat usai melantik empat Rektor Universitas Nahdlatul Ulama secara daring, pada Selasa (26/1) lalu. Pelantikan ini juga disiarkan langsung melalui kanal Youtube 164 Channel.


Secara khusus, pesan yang disampaikan Kiai Said itu ditujukan kepada keempat rektor yang baru dilantik. Mereka adalah Rektor Universitas Ma'arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen, Jawa Tengah Imam Satibi, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Sumatera Barat Yunia Wardi, Rektor Institut Teknologi dan Sains (ITS) NU Jambi Lias Hasibuan, serta Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNU Giri) Bojogenoro, Jawa Timur Jauharul Ma’arif. 


“Semoga perguruan tinggi yang rektornya baru saja saya lantik, menjadi pusat peradaban. Pusat kemajuan, pusat kajian intelektual bagi para mahasiswa dan masyarakat Nahdliyin,” harap Kiai Said usai membacakan sumpah jabatan kepada keempat rektor itu. 


Menurutnya, amanat yang diemban para rektor perguruan tinggi NU sangat berat, tetapi mulia. Sebab amanat itu bersifat tsaqafiyah wa hadlariyah, yakni sebuah amanat yang bersifat membangun peradaban, budaya, karakter, kemanusiaan, dan akhlak. “Itu amanat yang paling besar,” katanya.


Selanjutnya, amanat yang mesti diemban adalah soal keterampilan (skill) dan ilmu pengetahuan. Kiai Said lantas mengutip sebuah ayat Al-Quran (Ali Imran: 164), yang merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mampu membangun bangsa Arab yang mulanya jahiliyah. 


Pertama, yatlu ‘alaihim ayatihi yakni menyampaikan ayat-ayat Al-Quran kepada mereka (arab jahiliyah). Kedua, wa yuzakkihim atau dimaknai Kiai Said sebagai upaya membangun karakter, agar memiliki kepribadian serta jati diri dengan cita-cita yang tinggi. 


“Setelah itu baru yang ketiga, wa yu’allimuhumul kitab yaitu membangun dengan mengedepankan sains dan teknologi,” terang Kiai Said.


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa posisi ilmu itu berada setelah dibangunnya karakter, akhlak, dan kepribadian. Jangan sampai posisi itu dibalik atau terbalik. Sebab jika ilmu yang didahulukan ketimbang karakter, maka akan gagal dalam sebuah pembangunan kebudayaan atau peradaban.


Di samping itu, Kiai Said juga mengutip sebuah syair karya penyair asal Mesir Ahmad Syauqi Beik. Syair itu lalu diterjemahkan bahwa martabat sebuah bangsa, tergantung budayanya bukan karena agama. Dalam hal ini, Syauqi Beik tidak mengatakan sebaliknya bahwa martabat bangsa tergantung agamanya.


“Martabat bangsa itu tergantung dari tsaqafah dan hadharah-nya (peradaban). Oleh karena itu, mari kita pertahankan budaya kita, karakter kita, akhlakul karimah yang kita miliki, di mana dan kapan pun kita hidup berada, dan di era apa pun. Apalagi sekarang di era IT, medsos, google, yang sangat penuh dengan fitnah,” ajak kiai kelahiran Cirebon, 67 tahun lalu ini. 


Islam yang berbudaya


Kiai Said menegaskan pula bahwa warga NU harus terus memiliki tipologi atau ciri khas yakni sebagai umat Islam yang berbudaya. Dengan kata lain, agar menjadi muslim yang mampu mengharmonikan antara teologi dengan kebudayaan. Bahkan, budaya harus dijadikan fondasi atau infrastruktur bagi agama.


“Jadi agama harus dibangun di atas infrastruktur budaya. Maka, agamanya akan kuat dan budayanya langgeng. Jangan sampai sesekali kita mempertentangkan antara agama dan budaya. Jangan sesekali dipertentangkan,” tegasnya.


Ia juga mengajak agar para rektor yang baru dilantik itu, dapat terus berupaya untuk mengharmoniskan antara ta’alim ilahiyah samawiyah muqaddasah (nilai-nilai ketuhanan yang berasal dari wahyu dan sakral) dengan mabadi insaniyah waqi’iyah (kreativitas manusia yang bersifat profan).


“Kita harus mengharmoniskan kedua hal itu. Kecuali kalau itu bertentangan dengan syariat Islam seperti seks bebas dan minum-minuman keras. Tapi selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, mari budaya kita lestarikan,” pungkas Kiai Said. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad