Nasional

Krisis Kematian Akibat Covid-19 Ancam Masa Depan Anak

Sab, 7 Agustus 2021 | 05:00 WIB

Krisis Kematian Akibat Covid-19 Ancam Masa Depan Anak

Masa depan anak-anak terancam karena krisis kematian akibat pandemi Covid-19

Jakarta, NU Online 

Pandemi Covid-19 telah menciptakan krisis mendesak yang mempengaruhi anak-anak di seluruh dunia. Dari penelitian Central of Disease Control (CDC) Amerika Serikat, untuk setiap dua kematian Covid-19, setidaknya satu anak menghadapi kematian orang tua atau pengasuhnya yang membuat mereka menjadi yatim dan atau piatu. 


Prihatin dengan kondisi itu, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Dwi Rubiyanti Kholifah, menyatakan kematian orang tua dan pengasuh adalah pandemi tersembunyi yang dihasilkan dari kematian terkait Covid-19. 


"Saya prihatin dengan angka yang sangat tinggi itu, dan memang itu salah satu konsekuensi dari pandemi saat ini," kata Ruby kepada NU Online, Jumat (6/8). 


Dalam hal ini, Ruby merekomendasikan negara berperan dalam membantu anak-anak yang kehilangan keluarga akibat pandemi, termasuk dukungan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mental. 


"Dukungan negara penting untuk anak-anak ini. Salah satunya dengan cara memberikan beasiswa buat mereka, agar tidak putus sekolahnya," ujar Pemerhati Perempuan dan Anak itu. 


Ia juga menyarankan pemerintah untuk membangun komunikasi dengan masyarakat tentang perlunya keluarga mempersiapkan mitigasi risiko. Ketika ayah atau ibu terpapar Covid-19 dan sedang menjalani isolasi mandiri, perlu sesegera mungkin berbicara dengan anggota keluarga besar untuk mempersiapkan pengasuhan alternatif berbasis keluarga jika hal yang terburuk terjadi. 


"Mekanisme budaya dan kekeluargaan penting untuk dikembangkan. Membicarakannya bersama keluarga sangat penting sebagai solusi ke depan, siapa yang menjadi wali selanjutnya," kata Ruby menyarankan. 


Anak-anak yang masih dalam pertumbuhan tentu memiliki kebutuhan besar akan kasih sayang orang tua. Namun, kata Ruby, karena orang tua sudah meninggal, maka penting memastikan bahwa anak-anak mendapatkan lingkungan dan orang tua pengganti yang bisa mengawal tumbuh kembang mereka. 


"Anak memiliki hak sesuai dengan konstitusi kita," tandasnya. 


Pelibatan lembaga seperti pondok pesantren untuk pola pengasuhan tumbuh kembang anak-anak, menurut Ruby, sangat efektif. Hal ini mengingat pesantren telah terbukti mampu memberikan tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak yang tidak memiliki orang tua, untuk bertumbuh dan tetap secara sehat menerima kasih sayang dari pengasuh pesantren. 


"Namun demikian, penting mendudukan ini dengan pesantren. Sehingga tanggung jawab itu bisa dibagi," tutur Ruby. 


Terkait pengasuhan, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati sepakat, pihak keluarga besar harus terlebih dahulu memusyawarahkan mengenai masa depan anak yang kehilangan orang tua atau yatim piatu. Pasalnya, dalam hukum Indonesia, keluarga besar sampai derajat ketiga yang seharunya mengambil alih soal perwalian.


“Kakak adik sebagai derajat pertama, kemudian kakek nenek, dan ketiga paman bibi, itu yang dimaksud derajat dalam pengasuhan,” jelas Komisioner Bidang Pengasuhan ini.


“Jadi tidak semata-mata diurus di panti asuhan,” imbuh dia.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF