Nasional

Komnas Perlindungan Anak Dorong Kejahatan Seksual Masuk Extraordinary Crime

NU Online  ·  Selasa, 14 Juni 2016 | 09:00 WIB

Komnas Perlindungan Anak Dorong Kejahatan Seksual Masuk Extraordinary Crime

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait

Jakarta, NU Online
Komite III DPD RI diminta untuk menyusun Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang mengutamakan perlindungan terhadap hak hidup anak. Sinergi dari seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dibutuhkan untuk menghentikan kekerasan pada anak. Hal ini diungkapkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komite III DPD RI.

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait bahkan meminta agar perilaku kekerasan seksual kepada anak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), layaknya penyalahgunaan narkotika, tindak pidana korupsi dan terorisme.

"Presiden Jokowi saja sudah mengatakan kejahatan seksual kepada anak sebagai extraordinary crime, maka harusnya didukung oleh RUU PKS sehingga status kejahatannya jelas. Pelaku perkosaan tidak hanya dituntut dengan tindak pidana biasa dan hukumannya pun harus lebih berat lagi," ujarnya di Ruang Rapat Komite III, Senayan, Selasa (14/6).

Arist menilai Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat kekerasal seksual terhadap anak. Bahkan, data dua tahun terakhir menyebutkan, terdapat fenomena geng rape atau gerombolan pemerkosa. Fenomena ini sangat berbahaya dan perlu perhatian serius supaya kasus serupa tidak semakin membukit.

"Kami berharap fenomena ini disikap secara serius oleh RUU PKS. Jangan bikin RUU yang tidak visioner. RUU ini harus benar-benar menghargai hak hidup anak. Jangan hanya fokus pada masa depan pelaku, tapi bagaimana dengan korban yang sudah mati, hak hidupnya dicabut paksa oleh pelaku, itu harus dipikirkan," tegasnya.

Sementara itu, Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menilai RUU PKS perlu mengakomodir sistem perlindungan anak sebagai mainstream pembangunan daerah, melalui perbaikan regulasi, kelembagaan, program dan pendanaan untuk peningkatan kualitas keluarga dalam upaya pencegahan anak menjadi korban atau pelaku kekerasan.

"Perlu dirubah paradigmanya sehingga pendekatannya tidak hanya rehabilitative tapi juga kognitif. Sehingga perlu dipikirkan adanya program ketahanan keluarga atau juga pendidikan pencegahan kekerasan dari mulai usia dini, mulai dari PAUD hingga SLTA," ujarnya.

Menanggapi hal itu, Anggota DPD RI asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto sepakat untuk mengkategorikan kejahatan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Ia pun mempertimbangkan untuk memperkuat kewenangan lembaga tertentu yang menanggani hal ini.

Sementara itu, Stefanus Liow asal Sulawesi Utara sepakat perlunya ketahanan keluarga karena tak sedikit pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang terdekat dari korban.

"Pelakunya tak jarang adalah ayahnya, pamannya atau bahkan gurunya. Untuk itu saya sepakat negara harus hadir untuk melindungi hak hidup anak, karena anak sebagai korban cenderung tidak bisa mengadu kemanapun," tambahnya.(Red-Zunus)