Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum Robikin Emhas menilai, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat partisipasi daerah di dalam proses agregasi ide dan legislasi di tingkat nasional, serta melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pembangunan daerah, selain fungsi budgeting.
"Kalau kewenangan yang dimiliki masih seperti yang sekarang, maka DPD sulit untuk memperkuat dan menyalurkan aspirasi-aspirasi daerah," ujar alumni Ponpes Gading Pesantren ini.
Terkait hal ini, ia mengajukan dua opsi, yaitu memperkuat kewenangan DPD atau menghapusnya sekalian.
“Kalau DPD seperti yang sekarang ya DPD tidak bisa powerfull. Kalau diperkuat, diperkuat sekalian. Perkuat dan perluas kewenangan DPD agar kepentingan daerah terlayani dengan baik. Kalau tidak, bubarkan sekalian,” jelasnya kepada NU Online di Gedung PBNU, Selasa (4/4).
Terkait kisruh pemilihan pimpinan DPD belakangan ini, ia sangat prihatin dan menyayangkan. Baginya, keributan ini adalah hasil tarik ulur dari dua kekuatan yang ada terkait dengan posisi pimpinan DPD.
Awalnya, kedua kelompok melakukan kompromi dengan membagi masa kepemimpinan DPD menjadi dua tahun setengah–dua setengah tahun untuk kelompok yang sana dan dua setengah tahun selanjutnya untuk kelompok yang lain.
Namun, di akhir-akhir masa kepemimpinan, ada yang mengajukan judicial review terhadap Tata Tertip dimaksud dan Mahkamah Agung (MA) tiba-tiba membatalkan Tata Tertib tersebut. Maka terjadilah kisruh yang memalukan itu.
Robikin mempertanyakan akan hal ini. “Lalu bagaimana setelah lahirnya putusan Mahkamah Agung akan hal itu?” katanya.
Ia mengatakan, antara putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu berbeda. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial review bersifat final and binding (putusan terkahir dan mengikat), sehingga bisa langsung dilaksanakan. Sementara, putusan Mahkamah Agung adalah berupa perintah agar norma yang diuji di MA itu dicabut dan ditetapkan peraturan yang baru.
“Saat ini belum ada pencabutan yang dilakukan paripurna. Oleh karena itu maka aturan lama yang masih tetap berlaku dan pemilihan pimpinan dengan Tatip yang ada menjadi keharusan hukum,” urainya.
“Oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut,” lanjutnya.
Adapun terkait dengan semakin maraknya anggota DPD yang berasal dari partai politik, Robikin menyayangkan akan hal itu. “Harusnya yang seperti ini tidak dilakukan oleh teman-teman anggota DPD,” ulasnya.
Ke depan, ia mengusulkan agar ada aturan yang jelas dan tegas terkait dengan larangan anggota DPD untuk menjadi anggota partai politik, apalagi menjadi pengurus.
“Jika sudah terpilih menjadi anggota DPD dan kemudian menjadi anggota partai politik, apalagi pengurus, maka itu merupakan syarat yang sempurna untuk gugurnya sebagai anggota DPD,” tukasnya. (Muchlishon Rochmat/Zunus)