Nasional

Kisah Sebuah Suku yang Memusuhi Nabi, namun Bertawasul ketika Dilanda Paceklik

Sel, 26 Oktober 2021 | 05:00 WIB

Kisah Sebuah Suku yang Memusuhi Nabi, namun Bertawasul ketika Dilanda Paceklik

Ilustrasi: Nabi Muhammad selalu memaafkan bahkan mendoakan meskipun kepada orang yang memusuhinya.

Jakarta, NU Online
Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas mengatakan, bertawasul kepada Nabi Muhammad hukumnya sunnah taqririyah (perbuatan baik yang dilakukan orang lain di hadapan nabi, dan nabi tak melarang). 

 

Perihal tersebut, ia mengisahkan adanya sebuah suku yang dikenal sangat memusuhi Nabi, yakni Suku Mudhor, yang terlepas dari masa paceklik selama tujuh tahun setelah bertawasul kepada Nabi Muhammad.

 

"Syahdan, Suku Mudhor dikenal sebagai suku yang sangat memusuhi Nabi saw. Suku ini dipimpin oleh seorang penyair bernama Labid ibn Rabiah. Sebagai penyair, Labid sering membuat syair-syair yang menghina dan melecehkan Nabi saw," kisah Kiai Taufik lewat akun Twitternya diakses NU Online, Selasa (26/10/2021).

 

Atas perlakuannya kepada Rasulullah tersebut, lanjut Kiai Taufik, mereka diberi teguran oleh Allah berupa masa paceklik yang berlangsung selama tujuh tahun lamanya.

 

Diceritakan, kebun-kebun telah mengering. Tiada tumbuhan yang bertahan, melainkan kaktus dan rerumputan yang tak bisa dimakan. Hewan ternak banyak yang mati. 

 

"Para gadis menjadi jelek karena bibir mereka pecah-pecah akibat kekurangan cairan. Kaum ibu tidak dapat menyusui bayi mereka, karena payudara mereka tidak dapat mengeluarkan ASI. Para jagoan suku Mudhor pun menjadi kurus kering, lunglai, dan tak punya tenaga," ungkapnya.

 

Menyadari kesalahannya, mereka datang kepada Rasulullah untuk menceritakan derita paceklik yang mereka alami dan menyampaikan permohonan maaf serta meminta belas-kasihan (rahmat) darinya.

 

Sebagai pemimpin suku yang sekaligus seorang penyair, Labid menyampaikan permohonannya melalui syair yang berbunyi sebagai berikut

 

Kami datang kepadamu, wahai manusia terbaik di muka bumi ini, agar engkau memberikan belas-kasihan (rahmat) kepada kami, karena kami sedang dilanda paceklik yang sangat parah.

Kami datang kepadamu, melaporkan bahwa gadis-gadis kami kini jadi jelek. Bibir mereka pecah-pecah karena kekurangan air. Para ibu tidak bisa menyusui bayi-bayi, karena payudara mereka kempes tak berisi susu.

Para jagoan kami kini menjadi lemah. Mereka tidak berdaya karena kelaparan, tidak ada makanan, yang manis ataupun yang pahit.

Di kampung kami, tidak ada makanan yang layak kami makan. Yang ada hanya pohon kaktus dan rumput yang beracun.

Tidak ada orang yang pantas untuk kami berlindung kecuali engkau. Ke mana lagi manusia akan meminta perlindungan kecuali kepada sang Rasul?

Berdoalah untuk kami agar hujan turun di kampung kami. Maafkanlah kami.

Kami sangat berharap langit menurunkan air hujan agar kampung kami kembali subur seperti sedia kala.

 

Mendengar ungkapan Labid, lanjut Kiai Taufik, Nabi Muhammad menitikkan air mata. Dengan segera Nabi mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan. 

 

"Selesai Nabi berdoa, kontan hujan turun di kampung mereka," tutur kiai muda NU tersebut.

 

Tidak hanya bertawasul, sambungnya, Labid dan kelompoknya justru langsung meminta kepada nabi. Mereka memuji, meminta rahmat dan maaf, serta mengakui celakalah mereka tanpa perlindungan dari Nabi Muhammad.

 

"Maka, orang yang membidahkan perayaan Maulid Nabi dan memusyrikkan tawasul, dapat dipastikan mereka tidak mengerti sejarah, dan mereka tidak mengerti kekayaan pemikiran di dalam khazanah Islam," pungkasnya.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan