Nasional

Kisah Muhammad Fiqih, Bocah Satu Tahun di Detik-detik Likuifaksi Palu

NU Online  ·  Sabtu, 3 November 2018 | 19:00 WIB

Kisah Muhammad Fiqih, Bocah Satu Tahun di Detik-detik Likuifaksi Palu

Sutriani menceritakan kejadian gempa dan likuifaksi Petobo

Jakarta, NU Online
Bencana gempa bumi, likuifaksi dan tsunami Sulawesi Tengah lewat sebulan lalu, masih menyisakan pedih bagi Sutriani. Akhir Oktober kemarin, perempuan 40 tahun ini menceritakan, petang hari bencana itu datang, ia baru menemani anaknya, Dela Delfani (17 tahun) yang dirias wajahnya karena dijadwalkan akan mengisi Festival Palu Nomoni.

Tiba di rumah, hampir berangkat ke lokasi Palu Nomoni, mendadak terjadi guncangan. Sutriani yang tengah membobong anak keduanya, Muhammad Fiqih Kurniawan, saling berangkulan dengan Dela.

Guncangan membuat kepala Sutriani pusing. Dihadang kepanikan, mereka terus berpelukan. Guncangan dengan cepat membelah tanah, menaikturunkan tubuh mereka seperti dalam ayunan. Namun efek ayunan tidaklah membuat nyaman badan, justru kengerianlah yang dirasakan. Ngeri dan takut terayun-ayun dalam guncangan tanah, apalagi membayangkan jika salah satu anaknya terpisah, membuat Sutriani meneriakkan nama Tuhan. 

Petang itu, suara kepasrahan dan pengharapan akan pertolongan Tuhan dari warga Perumahan Petobo, bersaing dengan gemuruh retakan dan guncangan gempa, serta bunyi reruntuhan bangunan dan apa saja yang gagal mempertahankan kekokohan yang selama ini tampak tak bisa diruntuhkan.

Segalanya berlangsung amat cepat. Sutriani melihat Dela terjatuh. Tubuh Dela seperti tersedot tanah yang telah menjadi lumpur. Tak sampai satu menit, badan Dela tertutup tanah. 

Sutriani makin erat memeluk Muhammad Fiqih. Anak yang baru berumur setahunan itu belum lancar bicara. Tangisannya tak bisa dihentikan. Sutriani merasakan dekapan Fiqih amat erat. Tangan kecil Fiqih merangkul leher ibunya. Sekuat mungkin Sutriani mempertahankan Fiqih, sekaligus mempertahankan agar tubuhnya sendiri berada di titik tanah yang aman.

Tetapi sejak guncangan itu pertama ia rasakan, Sutriani tahu keadaannya tidak sepenuhnya aman. Ketakutan itu semakin menjadi ketika ia kembali terhempas. Nahas, tubuh Fiqih yang erta ia peluk dan memeluknya, terlepas. Tumpukan tanah dan lumpur terlihat seperti menganga, siap menelan tubuh Fiqih.

Serta merta Sutriani menggapai tangan Fiqih. Kena. Namun tanah yang semakin dalam menelan Fiqih, membuat Sutriani khawatir jika ia terus menarik tangan anaknya, tangan itu akan terputus.

“Saya melihat Fiqih masih menggapai-gapai, tapi lumpur terus menguburnya,” Sutriani terbata-bata.

Sejak awal obrolan dengan NU Online, suaranya lirih. Berkali-kali ia mengusap pipinya yang terus basah oleh aliran air dari kelopak matanya. Terasa sekali ia kerepotan menghilangkan kesedihan akibat kejadian itu.

Ada hal yang membuat takjub, kata Sutriani. Menurut perempuan yang menjanda sejak setahun lalu setelah kematian suaminya akibat sakit, Fiqih, pada detik-detik lenyap ditelan tanah, berteriak “Allahu akbar”.

“Padahal selama ini Fiqih belum bisa bicara lancar dan belum bisa mengucapkan Allahu akbar,” cerita Sutriani.

Sutriani mengaku peristiwa itu terlalu berat ia rasakan. Hal itu dibuktikan, sepanjang acara istighotsah yang diinisiasi NU Peduli di pengungsian Petobo, emosi Sutriani meluap-luap. Dengan lirih dan sesak dada ia mengucapkan istighfar. 

Mustasyar PWNU Sulteng, KH Husen Habibu yang mengisi tausiyah, mengingatkan warga bahwa semua yang terjadi adalah karena kehendak dan kekuasaan Allah. Oleh karenanya, warga Sulteng yang kehilangan keluarga dan sanak saudara, kehilangan rumah dan harta benda, harus memasrahkan kepada Allah. Warga juga diminta untuk semakin dekat dan bertakwa kepada Allah.

“Dengan cara semakin taat dalam beribadah. Kembali meramaikan dan mengisi masjid dan mushala dengan ibadah-ibadah,” kata Kiai Habibi.

“Kalau tidak mengingat bahwa semuanya adalah kehendak Allah, mungkin saya tidak bisa menerima semua kejadian ini,” tanggap Sutriani kembali menyabarkan dirinya. (Kendi Setiawan)