Jakarta, NU Online
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur mendapat kesempatan pertama pergelaran Muktamar Sastra Perdana 2018. Muktamar yang menghadirkan ratusan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia ini mengusung Menggali Kenusantaraan, Membangun Kebangsaan. Muktamar ini berlangsung pada 18-22 Desember 2018.
Muktamar Sastra merupakan ikhtiar kebudayaan dari para sastrawan, budayawan, dan seniman, baik dari kalangan pesantren maupun umum. Gerak ikhtiar ini penting mengingat bangsa Indonesia sedang digelayuti konflik-konflik politik dan problem ekonomi.
Dewan Pengarah Muktamar Sastra, Ahmad Najib mengatakan, Muktamar Sastra digelar agar rakyat tidak hanya disuguhkan persoalan politik. Sebab, akhir-akhir ini tensi politik sudah mulai memanas karena cara berkampanye dan promosi yang jauh dari akal sehat dan nilai-nilai kemanusiaan.
"Muktamar Sastra 2018 adalah sebuah ikhtiar. Satu upaya untuk mendorong gerak bangsa ini agar tidak melulu menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima," ungkap Gus Najib sehari sebelum pembukaan muktamar.
Menurutnya, bangsa Indonesia dibangun dengan tatanan dan ajaran-ajaran baik, nilai kerukunan, saling mengormati, gotong-royong, dan tenggang rasa.
"Jika hari ini sebagian dari nilai-nilai itu memudar, maka gerakan kebudayaan-lah yang diharapkan bisa memulihkan kembali. Dengan jalan kebudayaan kita berharap bisa kembali menggali kenusantaraan dan membangun kebangsaan," ucap Ketua PW LTN NU Jatim ini.
Khazanah Sastra Pesantren
Hari kedua perhelatan Muktamar Sastra, panitia mendaulat kiai yang sekaligus sastrawan dan budayawan, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) untuk memberikan pidato sambutan dan pengarahan kepada peserta Muktamar. Dalam pidatonya, Gus Mus mengungkapkan khazanah sastra pesantren.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Tahlibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini mengatakan, pesantren telah banyak melahirkan seorang sastrawan.
Menurutnya, hal ini dikarenakan pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu sastra, dan tata bahasa Arab sebagai perangkat untuk memahami isi kitab.
"Sastra itu makanan orang pesantren. Itu yang membedakan orang pesantren dan bukan," ucap Gus Mus.
Penulis Cerpen masyhur Gus Jakfar ini menyebut sejumlah nama kiai yang mempunyai kemampuan di bidang sastra, antara lain KH Abdul Hamid Pasuruan.
"Mbah Hamid sejak di Tremas sudah dikenal sastrawan. Kiai As’ad (Syamsul Arifin) juga sastrawan. Tapi, keduanya lebih menonjol kewaliannya. Ini kebalikan saya lah," terang Gus Mus disambut tawa ribuan hadirin yang terdiri dari santri dan sastrawan di Pesantren Sukorejo.
Mustasyar PBNU ini mengungkapkan bahwa sastrawan pesantren lainnya adalah Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Menurutnya, Mbah Hasyim suka membuat syair saat ada perbedaan pandangan dengan ulama lain agar tidak dipahami langsung oleh santri.
Gus Mus juga menekankan, di dalam sastra tidak hanya terdapat olah pikir, tetapi juga olah rasa. Sebab itu menurutnya, perhelatan Muktamar Sastra penting untuk memperkuat olah rasa.
“Saat ini yang kurang dalam diri kita ialah olah rasa,” ujarnya.
Menurutnya, orang yang tidak mempunyai dzauq (rasa) tidak mudah diajak berbicara soal sastra, karena tidak mengerti.
Menurut kiai yang telah banyak menelurkan syair, puisi, cerpen, dan lukisan ini, jika seseorang tidak mempunyai rasa, maka perhatiannya hanya terfokus pada manusia secara fisik, bukan pada perasaan manusia.
“Rasa itu yang menjadi keunggulan dan perbedaan orang pesantren. Hal itu, tidak terlepas dari tradisi sastra di pesantren,” jelas Gus Mus.
Urgensi Muktamar Sastra
Sementara itu, setidaknya ada tiga alasan Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapa Muktamar Sastra pertama dalam sejarah ini memilki peran penting dan tepat waktu.
Pertama, pada 9 Desember 2018, Pemerintah--dalam hal ini Presiden Joko Widodo--telah menerima naskah Strategi Kebudayaan Indonesia dari Tim perumus Kongres Kebudayaan Indonesia. Naskah tersebut diproyeksikan sebagai usulan rancang bangun visi pemajuan kebudayaan Indonesia 20 tahun ke depan.
Membicarakan kebudayaan, kata Menag, tidak mungkin tanpa mendiskusikan dan merumuskan kontribusi dunia sastra. Membincang kebudayaan Indonesia juga mustahil jika tidak mempertimbangkan sastra Islam pesantren.
Sebab, pesantren, dengan berbagai tradisi keilmuan serta kiprah kyai, ulama, tengku, buya, tuan guru, santri, dan alumninya, telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia.
Kedua, Menag memandang bahwa Muktamar Sastra 2018 tepat waktu, yakni karena saat ini bangsa Indonesia sedang perlu lebih banyak mengasah rasa. Perkembangan sosial politik, ditambah pesatnya media sosial akibat revolusi industri digital, sedikit banyak telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian dari masyarakat.
Menag melihat ada semacam kegagapan di mana gairah beragama tumbuh sedemikian cepat di satu sisi, namun tidak diiringi dengan keseimbangan nurani, rasa, dan spiritualitas di sisi lain. Seruan beragama yang seharusnya menenteramkan berubah menjadi provokasi. Simbol agama yang seharusnya menggambarkan kesantunan pun berubah menjadi gambaran kegarangan.
Ketiga, Muktamar Sastra penting karena ada benang merah dan kesinambungan sejumlah peristiwa mutakhir yang menggambarkan adanya keprihatinan sekaligus kepedulian warga masyarakat terhadap masa depan kebudayaan dan kebangsaan.
Permufakatan Yogyakarta yang digelar Kemenag pada awal November juga telah menggambarkan kegelisahan kaum agamawan dan budayawan atas menguatnya konservatisme dalam beragama.
Pendidikan agama dianggap terlalu mengedepankan aspek-aspek lahir (exoteric) dalam beragama, dan kurang membekali peserta didik dengan pesan-pesan spiritual (esoteric); pendidikan saat ini juga dianggap amat memarginalkan media sastra sebagai alat pembelajaran.
Hadir dalam Muktamar Sastra ini Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah KH Ahmad Azaim Ibrahimy, penyair KH D. Zawawi Imron, dan ratusan sastrawan, budayawan, serta seniman dari berbagai daerah.
Pada puncak kegiatan tersebut, peserta menyapakati Piagam Sukorejo dan sejumlah rekomendasi.
Piagam Sukorejo
Pada kesempatan ini juga dihasilkan 19 poin Piagam Sukorejo yang dibacakan KHR Azaim Ibrahimy pada penutupan Muktamar Sastra sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya muktamar sastra digelar sebagai ikhtiar luhur untuk menggali kenusantaraan demi membangun kebangsaan di tengah tata kelola dunia baru yang penuh keterbukaan serta persaingan hampir di semua lini kehidupan.
Bahwa sesungguhnya muktamar sastra adalah ikhtiar luhur anak bangsa untuk menjadikan manusia Indonesia tetap memiliki kepribadian di bidang kebudayaan, di samping senantiasa menggenggam kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi di kancah persaingan global.
Maka kami meneguhkan:
1. Dengan nilai, kekuatan sejarah, jaringan dan jumlahnya, pesantren harus mampu membangun peradaban sastra yang tangguh di era baru, serta bisa mewarnai dunia sastra berikut konten media di Indonesia
2. Sastra pesantren harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ranah baru, yakni: kelas menengah kota, generasi milenial, dan industri digital, dengan menyuguhkan konten inspiratif yang bersumber pada Islam inklusif dengan memanfaatkan kekuatan lintas media
3. Sastra pesantren merupakan karya sastra yang mengangkat nilai-nilai keislaman, kebangsaaan, dan lokalitas yang berorientasi kepada Islam rahmatan lil alamin
4. Sastra pesantren tidak hanya sebagai karya individual, tetapi juga merupakan ekpresi yang merepresentasikan kebudayaan kolektif.
5. Sastra pesantren harus berkontribusi pada kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, serta peradaban dunia.
6. Sastra pesantren harus menjadi mata rantai tradisi sastra religi yang ada di nusantara.
7. Sastra pesantren harus tampil secara estetik dengan menggali konvensi-konvensi sastrawi yang capaiannya memperkuat sastra Indonesia.
8. Formulasi dan karakteristik sastra pesantren masih terbuka lebar, sehingga strategi penggalian dan pengembangannya harus lebih intens dan berkelanjutan.
9. Sastra pesantren mengacu pada asas indah, berfaedah, dan kamal.
10. Sastra di Indonesia terbukti mampu mensintesakan problem kehidupan bangsa, sehingga sastra tidak patut diperalat untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
11. Sastra adalah ruang refleksi, ekspresi, dan cermin bening bagi semua elemen bangsa.
12. Sastra dan budaya di Indonesia sudah waktunya menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
13. Sastra di Indonesia sebagai penanda keberadaban, harus berada di garda depan laju kebudayaan bangsa
14. Sastra punya potensi besar sebagai perekat kebangsaan, sebab memiliki piranti paling mumpuni, membumi, dan mampu menembus sekat-sekat di masyarakat
15. Gerakan budaya dengan berbasis sastra pesantren merupakan langkah strategis dan efektif.
16. Sastra di Indonesia adalah wahana pendidikan dan penyampai nilai-nilai yang mampu melintasi berbagai zaman.
17. Sastra di Indonesia memiliki sejarah panjang serta menyimpan warisan lokal yang melimpah, sehingga harus tetap dipertahankan dalam tradisi sastra di Nusantara
18. Sastra di Indonesia adalah produk budaya sekaligus estetika, apapun warna lokal dan basis etniknya harus diapresiasi sebagai basis dan pendukung bagi dinamika kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
19. Muktamar Sastra 2018 juga melahirkan butir-butir rekomendasi yang akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, berwenang, dan kompeten.
Demikian, Piagam Sukorejo ini disusun berdasarkan kesepakatan dan kesepahaman seluruh peserta Muktamar Sastra 2018.
Rekomendasi Muktamar Sastra
Bahwa sesungguhnya dalam poin ke-19 Piagam Sukorejo, telah disebutkan “Muktamar Sastra 2018 juga melahirkan butir-butir rekomendasi yang akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, berwenang, dan kompeten”.
Maka kami meneguhkan rekomendasi, kepada:
Pemerintah melalui kementerian-kementerian:
Meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama menjamin terselenggaranya Muktamar Sastra secara rutin dan berkesinambungan.
Mendesak pemerintah melalui Kementerian Agama untuk mengayomi kekayaan intelektual sastrawan santri dalam wujud penerjemahan sastrawi kitab-kitab klasik sastra pesantren dengan tetap menjaga esensi maknanya.
Mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk menyelenggarakan program penerjemahan karya-karya lokal (terdahulu dan termutakhir) dan menerbitkan serta mendistibusikannya ke lembaga-lembaga pendidikan.
Mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama memberi penghargaan khusus kepada sastrawan/media/penerbit yang intens menulis/menerbitkan karya sastra bernuansa lokal.
Mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama agar mengakomodasi perkembangan sastra (hingga yang termutakhir) sebagai bahan pembelajaran sastra di lembaga pendidikan.
Mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama agar memasukkan sastra pesantren sebagai bagian dari materi pembelajaran sastra di lembaga pendidikan.
Mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan Kementerian Dalam Negeri untuk menjadikan sastra dan karya sastra sebagai media perdamaian dan perekat kehidupan berbangsa dengan mengadakan anjangsana budaya yang berkesinambungan antar suku bangsa di seluruh Indonesia.
Menyerukan kepada pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama agar mengawal perjalanan dan perkembangan sastra pesantren dengan kebijakan resmi.
Menyerukan pemerintah agar senantiasa mempertimbangkan nilai-nilai budaya dalam setiap mengeluarkan kebijakan.
Pemerintah melalui kementerian-kementerian dan lembaga non-pemerintah:
Mendesak pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika dan lembaga pertelevisian swasta untuk memberikan porsi lebih besar terhadap sastra pesantren dan sastra di Indonesia dalam program tayangnya.
Kalangan pondok pesantren:
Mendorong kalangan pondok pesantren agar merespon secara konkret menyoal sastra pesantren dalam wujud penerjemahan karya sastra pesantren (terdahulu dan termutakhir) ke dalam Bahasa Indonesia untuk dapat menambah khazanah kekayaan sastra pesantren di Indonesia.
Mendorong kalangan pondok pesantren berkolaborasi dengan kalangan sastrawan, untuk:
Menggulirkan gerakan sastra yang mengkampanyekan sastra pesantren secara konkret, masif, dan sistemik di pondok-pondok pesantren;
Membentuk dan/atau memperkuat jaringan komunitas sastra di kalangan pondok pesantren;
Mengusahakan program penerbitan karya sastra para santri secara kontinu.
Internal sastrawan:
Sastrawan harus lebih intens menggali dan mempresentasikan kearifan lokal lewat karyanya, sebagai upaya untuk lebih merekatkan kehidupan berbangsa.
Sastrawan selain dengan menulis karya sastra, harus aktif terjun ke masyarakat untuk memperjuangkan kebudayaan sebagai jalan penting kehidupan berbangsa.
Sastrawan harus mampu membangun jaringan kebudayaan antar komunitas untuk mempererat kesatuan bangsa.
Menjadikan sastra dan karya sastra, di antaranya sebagai lokomotif perubahan masyarakat ke arah yang berpihak kepada karakter dan budaya bangsa.
Masyarakat umum:
Mendorong semua pihak yang berkompeten agar berusaha supaya sastra pesantren bisa diakomodir di berbagai media, baik cetak, elektronik, visual, serta digital.
Menyerukan kepada semua pihak agar menjaga sastra supaya tetap steril dari kepentingan politik praktis.
Mendorong semua pihak yang berkompeten agar mewujudkan sastra pesantren sebagai sastra yang penuh nilai keislaman, kebangsaaan, dan kearifan lokal yang berorientasi kepada kesejahteraan batin masyarakat. (Fathoni)