Surabaya, NU Online
Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur menjadi saksi atas kehadiran jutaan warga Nahdlatul Ulama dan masyarakat umum. Mereka memadati stadion sejak Ahad (28/10) dini hari untuk mengikuti istighotsah kubro yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
Sebelumnya, ketua panitia doa bersama atau istighotsah kubro, KH Reza Ahmad Zahid mengemukakan bahwa kegiatan dalam rangka memperingati hari lahir ke-94 NU dan Hari Santri 2018. “Istighotsah ini digelar untuk keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI,” kata Gus Reza sapaan akrabnya, Ahad (14/10).
Wakil Ketua PWNU Jatim ini mengemukakan bahwa istighotsah kubro diselanggarakan atas instruksi para kiai sepuh menyikapi kondisi bangsa saat ini. "Mereka merasakan adanya isyarat ilahiah untuk menggelar istighotsah kubro," ungkapnya usai rapat koordinasi dengan panitia dan banyak kalangan.
Menurutnya, kondisi Indonesia belakangan ini sungguh memperhatikan. Di tengah masyarakat menjamur paham keagamaan yang menjurus pada radikalisme yang mengancam NKRI. Paham liberalisme dan kapatalisme juga menjangkiti bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadi persoalan kebangsaan dan kesenjangan sosial dan keadilan.
Wakil Rais PWNU Jatim KH Agus Ali Masyhuri menambahkan istighotsah kubro diselenggarakan berangkat dari keprihatinan para kiai terhadap kondisi bangsa akhir-akhir ini. Dia menyebut umat Islam beragama tapi kering dari visi keilahian, maraknya aksi kekerasan, serta minimnya tokoh atau pemimpin yang layak diteladani.
"Maka dari itu para kiai berijtihad. Mereka berkeyakinan bahwa kekuatan doa di atas segala-galanya," kata pengasuh Pondok Pesentren Bumi Sholawat Sidoarjo tersebut.
Sempat Tertunda dan Dicurigai
Awalnya, istighotsah kubro akan dilangsungkan 21 Oktober. Namun setelah mempertimbangkan banyak masukan dari berbagai kalangan, akhirnya panitia menggeser sepekan kemudian kegiatan tersebut menjadi 28 Oktober. Lokasi kegiatan masih tetap yakni di Stadion Gelora Delta Sidoarjo,.
Kepastian ini disampaikan KH Reza Ahmad Zahid melalui surat resminya yang dikirim ke sejumlah insan media Selasa (16/10). “Ini setelah merespons berbagai masukan dari berbagai pihak,” katanya.
Pertimbangan utama karena pada hari yang berdekatan banyak rangkaian kegiatan hari santri yang hampir bersamaan. “Pada tanggal 21 Oktober di berbagai daerah se-Jawa Timur banyak kegiatan serupa dalam rangka menyemarakkan hari santri nasional,” ungkapnya. Sehingga dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka istighotsah kubro dilaksanakan pada 28 Oktober 2018, lanjutnya.
Dalam pandangannya, penundaan ini juga dimaksudkan agar persiapan pelaksanaan istighotsah kubro lebih maksimal. “Harapannya istighotsah kubro dapat terlaksana dengan khusyuk dan khidmat dalam mendoakan keselamatan dan persatuan bangsa,” ungkapnya.
Pada saat yang sama, PWNU Jatim sangat mengapresiasi banyaknya kegiatan resepsi yang berlangsung 21 Oktober di sejumlah daerah. “Ini menunjukkan bahwa hari santri sudah menjadi kebanggaan masyarakat,” ungkapnya.
Di akhir surat tersebut, PWNU Jawa Timur mengajak seluruh kalangan hadir pada kegiatan istighotsah kubro. “Kami mengajak masyarakat untuk menghadiri puncak peringatan Hari Santri dan Resolusi Jihad pada tanggal 28 Oktober dengan kegiatan istighotsah kubro demi keselamatan dan persatuan bangsa,” jelasnya.
Panitia juga memastikan mengundang Presiden RI pada kegiatan tersebut. Itu sebagai ungkapan terima kasih atas jasa yang diberikan presiden sehingga menetapkan hari santri nasional. Penegasan disampaikan langsung KH Marzuki Mustamar kepada sejumlah insan media di kantor PWNU Jatim, Kamis (25/10) petang.
“Yang kami undang adalah Presiden RI, bukan dalam kapasitas sebagai calon presiden,” kata Ketua PWNU Jatim tersebut. Hal itu adalah sebuah kewajaran kalau kemudian panitia mengundang Presiden RI karena telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015.
“Sekali lagi kami tegaskan bahwa yang diundang adalah Presiden RI,” katanya yang didampingi KH Reza Ahmad Zahid dan KH Abdussalam Sochib. Sehingga, kalau pada tahun berikutnya ternyata yang menjadi presiden adalah bukan Joko Widodo, maka presiden terpilih akan juga diundang, lanjutnya.
Apa yang disampaikan Kiai Marzuki ini juga menepis berbagai pandangan di sejumlah pemberitaan bahwa kegiatan istighotsah kubro mernuansa politis. Untuk menegaskan bahwa kegiatan ini murni sebagai kegiatan ibadah, pihak panitia juga telah melakukan sejumlah antisipasi. “Kami sudah menyampaikan kepada peserta istighotsah kubro untuk tidak membawa bendera apapun selain bendera NU dan bendera merah putih,” kata KH Reza Ahmad Zahid.
Dan bila ditemukan ada bendera lain, maka pihak panitia akan menyerahkannya kepada pihak keamanan yakni Banser, polisi dan tentara. “Koordinasi terkait hal ini telah kami lakukan,” katanya.
Namun demikian, Gus Reza sangat berharap kepada jamaah yang hadir pada kegiatan istighotsah untuk mematuhi ketentuan yang telah ditentukan. “Termasuk dengan tidak membawa atribut partai politik dan bendera lain di luar ketentuan,” tegasnya.
Lautan Manusia Putihkan Gelora
Seperti perkiraan panitia, ribuan jamaah memenuhi Satdion Gelora Delta Sidoarjo untuk mengikuti Istighotsah Kubro 2018, Ahad (28/10). Saking tingginya antusiasme untuk mengikuti acara ini, jamaah sampai meluber hingga ke luar stadion dan memenuhi area parkir.
Dengan khidmat mereka berdzikir dan bershalawat dipimpin oleh para kiai sepuh. Mulai Rais PWNU Jatim, KH Anwar Manshur, Ketua PWNU Jatim, KH Marzuki Mustamar; lalu Pengasuh Ponpes Bumi Sholawat Tulangan, KH Agu Ali Masyhuri. Ada juga Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, KH Nurul Huda Djazuli dan KH Zainuddin Djazuli dan para kiai sepuh yang lain. Nampak juga beberapa kepala daerah hadir dalam istigosah tersebut. Di antaranya Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), dan Bupati Bondowoso, Salwa Arifin.
Di bawah terik matahari para jemaah tetap khidmat mengikuti istighotsah. Mereka menggunakan surban, payung untuk menutupi dari panas matahari.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma'ruf Amin memberikan tausiyah kebangsaan kepada peserta. Dirinya sekaligus menyampaikan permintaan maaf Presiden Joko Widodo tidak bisa hadir pada kegiatan itu.
Kiai Ma'ruf mengucapkan terima kasih kepada Jokowi yang telah menetapkan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober. Sebab, 22 Oktober 1945 sebagai inspirasi lahirnya perlawanan kaum santri kepada penjajah sehingga akhirnya pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
"22 Oktober 1945, untuk menentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berlanjut atau tidak, semua orang bingung. Tetapi Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Kiai Hasyim Asy'ari mengatakan kalau melawan penjajah hukumnya fardu ain melalui Resolusi Jihad. Dan pada Oktober 2015 lalu, 22 Oktober ditetapkan oleh Jokowi sebagai Hari Santri Nasional," ujarnya.
Menurut Kiai Ma'ruf, santri dan kiai telah menyatakan sikapnya atas negara Indonesia sejak sebelum proklamasi. Meski kemerdekaan belum diproklamirkan, kata Kiai Ma'ruf, nahdiyin sudah mengumandangkan Indonesia negeriku. "Siapa yang datang mengancam akan berhadapan dengan santri Nahdatul Ulama. Begitu (Indonesia) terbentuk semangat bela negara semakin kuat," katanya.
Kiai Ma'ruf meminta negara harus dijaga seperti dulu ulama santri di bawah komando KH Hasyim Asyari mengusir penjajah. Sekarang orang-orang yang akan menghancurkan negara, baik itu namanya sparatisme, radikalisme maupun terorisme, tak boleh ada di Indonesia. "Santri harus mengawal agama, tidak akan membiarkan upaya yang akan menghabisi Ahlussunnah wal Jamaah, harus dikawal sekuat tenaga," tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, KH Marzuki Mustamar dalam orasinya meminta santri taat pada ulama dan habaib. Ia juga meminta santri selalu mencintai NKRI. "Santri jangan mudah tertipu oleh kelompok tertentu yang akan menghancurkan NKRI dan meniadakan Ahlussunah wal Jamaah," kata Kiai Marzuki.
Kegiatan yang dihadiri jamaah dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur tersebut berjalan lancar serta khidmat. Kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa kegiatan bernuansa politis, terbantahkan. Peserta yang diperkirakan sampai sejuta orang juga datang dan pulang dengan tertib. Selama istighotsah mereka larut dengan bacaan dan doa yang dipimpin sejumlah kiai dan ulama. (Ibnu Nawawi)