Jakarta, NU Online
Sejumlah kepengurusan Nahdlatul Ulama di tingkat provinsi di Pulau Jawa memasuki babak baru dengan digelarnya Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama atau Konferwil NU. Diawali Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah yang menyelenggarakan permusyawaratan tertinggi pada pekan pertama bulan Juli, kemudian secara bersamaan yakni akhir Juli adalah PWNU Banten dan Jawa Timur.
Para rais dan ketua PWNU tersebut dengan dibantu jajaran pengurus harian, dan lembaga, serta badan otonom (Banom) mengawal khidmat untuk lima tahun kedepan, yakni 2018 hingga 2023.
Berbeda dengan suksesi kepemimpinan organisasi yang lain, untuk pemilihan rais maupun ketua di tiga PWNU tersebut tanpa diawali gejolak berarti. Suasana sidang pleno tata tertib, sidang komisi hingga pleno pemilihan berlangsung landai. Para peserta konferensi yang merupakan utusan dari kepengurusan NU tingkat kabupaten dan kota, lebih mengedepankan musyawarah mufakat. Sehingga nuansa persaingan sama sekali tidak mengemuka.
Suasana sidang pleno pada Konferwil NU Jawa Tengah misalnya, musyawirin mempercayakan jabatan ketua kepada HM Muzammil. Sidang pleno pemilihan yang dipimpin H Marsudi Sudud dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhirnya menetapkan pria kelahiran 17 Mei 1966 tersebut sebagai ketua. Sebelumnya dalam proses pemilihan calon memunculkan tiga nama yakni H Arja Imroni dengan perolehan 16 suara, H Muzammil 12 suara dan KH Hayatun 9 suara.
Namun, ketika calon mendapat kesempatan menyampaikan kesediaannya , H Arja Imroni tidak berkenan melanjutkan proses lanjutan. Alasannya, dirinya tidak pernah mengikuti pengkaderan NU sebagaimana kriteria calon dalam tata tertib.
Dengan demikian, pasangan KH Ubaidullah Shodaqoh dan H Muhammad Muzamil ditetapkan sebagai Rais dan Ketua PWNU Jawa Tengah pada konferensi yang berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Huda Ngroto Gubug Grobogan tersebut.
Di PWNU Banten berhasil menetapkan rais terpilih, KH Tb Abdul Hakim dan H Bunyamin sebagai ketua. Sedangkan di Jawa Timur mempercayakan duet KH Anwar Mashur sebagai rais dan KH Marzuki Mustamar selaku ketua.
Tugas Mulia NU di Jawa
Perkembangan NU di tanah air bahkan di sejumlah negara tidak dapat dipisahkan dari khidmat kepengurusan jamiyah ini di Jawa. Karena banyak capaian baik dari sisi administrasi maupun prestasi lain yang layak diacungi jempol.
Nyaris seluruh lembaga dan badan otonom NU di Jawa tidak pernah sepi dari kegiatan yang menunjukkan semangat serta khidmat tiada henti bagi masyarakat sekitar dan kepedulian terhadap peristiwa di tanah air.
Geliat lembaga pendidikan, kegiatan ekonomi, serta penguatan kualitas kader menjadi hal yang demikian diseriusi. Hal tersebut semakin ditopang dengan keberadaan ribuan pondok pesantren dengan berbagai ciri khasnya.
Mantan Ketua PWNU Banten, H Soleh Hidayat mengingatkan basis NU adalah kiai dan pesantren. Kalau diibaratkan kendaraan, pengurus NU berperan sebagai sopirnya, sementara kiai dan santri berperan sebagai kendaraannya. “Kendaraan ini adalah para santri, para kiai dan pesantren, kita ini hanya sebagai sopir,” katanya.
Secara khusus, dirinya juga mengingatkan bahwa NU dihadapkan dengan tahun politik, yang mengharuskan tetap berada posisi yang netral. Hal itu sesuai dengan posisi NU bukan organisasi politik, sehingga harus berada di semua golongan. “Tidak boleh berada di salah satu partai politik apapun, itu garis organisasi. Tentu saja sesuai NKRI ini, NU harus berada di depan dalam rangka memunculkan persatuan, baik persatuan bangsa, tanpa membedakan suku, agama, ras dan sebagainya,” ucapnya.
Pernyataan senada disampaikan PBNU melalui Koordinator Wilayah Banten KH Abdul Manan Abdul Ghani. Dirinya meminta agar pengurus baru dapat memperkuat kepengurusan hingga anak ranting.
"Saya berharap NU wilayah Banten khususnya dapat mengonsolidasikan kepengurusan sampai ranting bahkan anak ranting," ujarnya. Hal itu, menurutnya, dapat dilakukan dengan berbasis masjid, madrasah, majelis taklim, dan pesantren.
Di samping itu, PWNU Banten juga perlu menyapa dan berkhidmat kepada warga dengan menjalankan berbagai macam programnya yang berkaitan dengan ahlussunnah wal jamaah, pendidikan, dan ekonomi.
Di tempat berbeda, KH Marzuki Mustamar mengungkapkan cita-citanya mewujudkan NU Jawa Timur memiliki masjid sendiri. Masjid berukuran besar yang mampu menampung lebih dari 10.000 jamaah. "Kita ingin NU (Jawa Timur) memiliki masjid sendiri dengan jumlah jamaah di atas 10.000,” katanya.
Kiai yang juga dosen di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu juga berjanji membawa nahdliyin Jatim semakin guyub dan rukun. Kemudian juga berupaya lebih menyemarakkan tradisi NU, seperti tahlil dan manakib. "Semua yang di bawah bendera NU akan lebih semarak,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad Kota Malang ini.
Yang tidak kalah penting adalah tekadnya meningkatkan mutu dan kualitas seluruh lembaga di bawah NU, termasuk berencana membentuk satgas pendampingan. Di bawah kepemimpinanya NU Jatim juga menginventrisir anak SMP dan SMA yang memiliki potensi intelektual. NU akan mengawal hingga yang bersangkutan masuk perguruan tinggi. Kenapa begitu? Setiba masuk kampus, Kiai Marzuki tidak ingin anak-anak berpotensi itu diambil kelompok radikal dan berbalik melawan NKRI. "Jangan sampai pulang dari kampus mengafirkan Pancasila. Itu tidak boleh," katanya.
Perangkat Organisasi telah Optimal
Dan masing-masing PWNU telah melakukan musyawarah kerja yang diawali dengan pemilihan kepengurusan lembaga, dan tentu saja badan otonom yang ada. Karenanya, sangat beralasan kalau Rais PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh ketika melantik 18 pimpinan lembaga menyampaikan bahwa pengurus lembaga adalah tangan pembantu pengurus wilayah untuk melaksanakan program.
Dalam paparannya, Kiai Ubed (sapaan akrabnya) mengingatkan bahwa pelantikan sebagai sarana memupuk semangat NU untuk menjalankan program yang ditugaskan pada lembaga yang ada. “18 lembaga di PWNU (Jateng) ini sangat penting, sehingga bila ditanya bagaimana menanggulangi paham radikalisme, maka tidak hanya cukup dengan doa dan pengajian. Dari seluruh lembaga seperti kesehatan, pendidikan, penanggulangan bencana, jika bekerja dengan baik, inilah komposisi lengkap untuk menanggulangi paham yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah,” ungkapnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, Tlogosari, Semarang itu mengajak pengurus lembaga yang telah dilantik agar mencari berkah di NU dengan cara berkhidmah untuk melaksanakan program yang telah ditentukan. Karena lembaga inilah yang dalam perjalanan organisasi berperan sebagai leading sektor dalam implementasi program NU seperti pendidikan, pengelolaan zakat, penguatan sumber daya manusia, penerbitan, kesehatan dan lainnya
Hal menarik yang layak ditunggu adalah bagaimana khidmatnya dalam lima tahun kedepan, di tengah melimpahnya sumber daya manusia dan tantangan yang tidak ringan.
Bahwa tantangan NU di Jawa tidak semata merespons peristiwa berbasis lokal, juga aneka persoalan yang akan menjadi pembicaraan publik di tingkat nasional bahkan dunia. Sumbangsih NU di Jawa, dan juga kawasan lain tentu dinanti. (Ibnu Nawawi)