Nasional

Kidung Kawedar Sunan Kalijaga Kaji Asal dan Tujuan Manusia

Ahad, 27 Mei 2018 | 12:00 WIB

Kidung Kawedar Sunan Kalijaga Kaji Asal dan Tujuan Manusia

Ngaji Suluk Sunan Kalijaga, Sabtu (26/5).

Jakarta, NU Onlne
Dalam konsep tauhid Islam khas orang Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi. Konsep ini berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dari penciptaan manusia dan alam semesta yang hulu dan muaranya adalah Tuhan.

Sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa semuanya berasal dari adi kodrati yaitu Tuhan,” kata Ki Teguh Slamet Wahyudi pada Gema Ramadhan Ngaji Suluk-suluk Sunan Kalijaga, di Sanggar Suluk Nusantara, Perumahan Depok Mulya 1, Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/5).

Ia menganalogikan, masyarakat Indonesia pada akhir Ramadhan banyak yang melakukan mudik atau pulang kampung. Hal itu dilakukan karena di kampung halaman mereka memiliki sanak saudara dan orang tua yang ingin dikunjungi. Pemudik bersilaturahim kepada yang masih hidup, dan berziarah kepada yang telah meninggal dunia. 

“Pulang kampung menjadi aktivitas setiap tahun, sebuah ilustrasi yang pada akhirnya kita akan pulang ke asal kita, yaitu Tuhan,” lanjut doktor pada bidang Matematika ini.

Dalam pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi terkait dengan tiga hal, yakni asal alam semesta, tujuan manusia, dan pencipatan manusia. Ketiganya tergambar pada Serat Kawedar karangan Sunan Kalijaga, meski tidak secara ekspilisit dan tidak terlalu banyak tujuan hidup itu dijelaskan.

Pada bait sepuluh disebutkan Ana kidung rekeki Hartati/sapa weruh reke araning wang/duk ingsun ana ing ngare/miwah duk aneng gunung/ki Samurta lan Ki Samurti/ngalih aran ping tiga/arta daya engsun/araning duk jejaka/Ki Hartati mengko ariningsun ngalih/sapa wruh araning wang// Ada kidung bernama Hartati/siapa yang tahu itu adalah namaku/tatkala aku masih tinggal di ngarai/dan ketika tinggal di gunung/Ki Samurta dan Ki Samurti/berganti nama tiga kali/aku adalah arta daya/namaku tatkala masih perjaka/kelak namaku berganti Ki Hartati/Siapa yang tahu namaku.

Bait sepuluh di atas dimaknai sebagai ilustrasi hubungan Tuhan dan manusia saat masih di alam ruh. Ruh manusia yang berasal dari ruh ilahi ini memiliki kekuatan arta daya (kebijaksanaan, batin, dan welas asih) yang kemudian berada di rahim seorang ibu.

Lalu pada bait sebelas diungkapkan Sapa weruh tembang tepus kaki/sasat weruh reke arta daya/tunggal pancer ing uripe/sapa weruh ing panuju/sasat sugih pagere wesi/rineksa wong sajagad/kang angidung iku/lamun dipunapalena/kidung iku den tutug padha sawengi/adoh panggawe ala// Siapa yang tahu bunga tepus/tentu tahu yang dimaksud dengan arta daya/yang menyatu dengan kehidupannya/siapa yang tahu tujuan hidup/berarti kaya dan dipagari besi/dijaga orang sejagat/yang melantunkan kidung itu/bila dibaca dilafalkan dalam semalam/jauh dari perbuatan buruk. 

Bait sebelas berisi ajaran kepada manusia untuk memahami diri dan tujuan hidupnya. Kekuatan arta daya yang dimiliki manusia mendorong tepo seliro (toleransi). Manusia yang tahu tujuan perjalanan hidupnya akan dilindungi Tuhan seperti halnya rumah yang berpagar besi.

“Di dalam kidung ini disebutkan keutamaan, jika  manusia mengenali jati diri akan mencapai keinginan seperti disayang oleh Tuhan, digambarka dengan kehidupan seperti rumah yang berpagar besi. Pada zaman itu rumah berpagar besi adalah rumah keturunan bangsawan,” papar Ki Teguh.

Ia mencermati manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Tubuh yan meninggal akan hancur. Adapun jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta. "Di dalam Al-Qur'an disebutkan manusia tercipta dari saripati tanah. Ketika kita makan minum dari hasil bumi kita paham maknanya. Air itu akan menjadi komposisi sel telur menyatu dengan proses perkembangan bayi di dalam rahim. Ini menjadi kata kunci dalam sangkan paran dumadi. Maka itu dapat menggambarkan asal usul dan tujuan hidup manusia yaitu Tuhan," urainya.

Agar dapat kembali kepada Tuhan sebagaimana fitrahnya, manusia harus mengendalikan napsu dengan menempa diri seperti berpuasa. Lelaku ini dijalankan untuk menempa ruhani, agar napsu badani tidak dominan. 

Suluk Kawedar Sunan Kalijaga terdiri dari 46 bait. Suluk ini dinyanyikan dengan tembang atau nada Dandanggula, salah satu jenis tembang macapat dalam sastra Jawa.

Ngaji Suluk Sunan Kalijaga menjadi salah satu agenda Gema Ramadhan yang diadakan oleh Sanggar Suluk Nusantara. Kegiatan ini diawali Sabtu (19/5) dengan materi Penghayatan Surat Al Fatihah, Surat Al Ikhlas, Al Falaq dan Annas dengan pemateri Ki Abdulazis Basyarudin. Berikutnya Pengantar Umum Suluk Kidung Kawedar oleh Ki Bambang Wiwoho, Kamis (24/5).

Pada pekan depan Kamis (31/5) diagendakan materi Jagat Kecil Jagat Besar oleh Ki Mustaqim Abdul Manan, Ajaran Hakikat Kepemimpinan dari Tembang Gundul-gundul Pacul oleh Ki Ageng Lanang (M Jasin), Sabtu (2/6). Sebagai penghujung kegiatan, Kamis (7/6) dihadirkan Keutamaan Ayat Qursi dan Shalat Daim dengan pemapar Ki Abdul Azisi Basyaudin. Pada setiap pertemuan peserta juga diajak nembang (menyanyikan) suluk-suluk yang dikaji.

Seperti diketahui salah satu media yang efektif mengenalkan Islam adalah dengan pendekatan budaya dan seni. Hal itu seperti diakukan oleh Walisongo. Pada harlah NU ke-92 bulan April lalu juga digelar wayang kulit dengan lakon Jamus Kalimasada. Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan NU menekankan penyatuan budaya dengan Islam, dan tidak memisah-misahkannya. Budaya yang baik yang dapat menunjang ajaran Islam, harus dipertahankan, bahkan dikembangkan. (Kendi Setiawan)