Kiai Tholchah: Guru Agama Tak Sekedar Pendidik Profesional
NU Online · Senin, 24 September 2012 | 12:30 WIB
Jakarta, NU Online
Pendidikan agama saat ini masih terhenti pada pengajaran ilmu agama, belum mencapai internalisasi nilai. Pendidikan agama masih lebih terfokus pada aspek afektif, bukan kognitif.<>
“Pendekatannya masih pada a’malul jawarih (gerak tubuh), tidak sampai a’malul qulub (ketergerakan hati: red),” kata Mustasyar PBNU KH Tholchah Hasan, ketika menjadi narasumber dalam Temu Pakar Pendidikan Islam: Deradikalisasi, Multikultural, Wawasan Kebangsaan, serta PenguatanAkhlakul Karimah, di Jakarta, Senin (24/9).
Dalam kesempatan itu, Kiai Tholchah mempertanyakan pencapaian pendidikan agama selama ini. “Banyaknya perilaku menyimpang di kalangan pemuda pelajar, seperti radikalisasi, narkoba, pergaulan bebas, dan kriminalitas, memunculkan pertanyaan tentang sampai di mana capaian dan pengaruh pendidikan Islam terhadap perubahan perilaku dan sikap peserta didik di sekolah,” ujarnya.
Menurutnya, tidak semua guru agama di sekolah mempunyai kelayakan mengajar agama, baik dari segi penguasaan bahan ajar, performa dalam menjalankan tugas, maupun keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, perlu adanya pembekalan berkesinambungan bagi peguatan penguasaan guru terhadap materi ajar.
“Guru agama selama ini lebih mencerminkan dirinya sebatas sebagai pendidik professional, tidak bisa menjadi pendakwah yang bertanggungjawab terhadap pendidikan spiritual,” katanya.
Menurut Kiai Tholchah, di luar kompetensi pendidik yang diatur dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khusus guru agama, harus ada 2 kompetensi yang dikuasai, yaitu: leadership dan spiritual. Jika tidak ada 2 kompetensi ini, pendidikan agama di sekolah terasa kering.
Ditambahkan, guru agama selama ini juga kurang menggunakan soft-skill secara kreatif sehingga sulit dalam membentuk lingkungan keagamaan yang mendukung. Selain itu, apresiasi dan dukungan komunitas sekolah juga sering kurang memadai. Akibatnya fasilitas dan sarana pembelajaran pendidikan agama sangat terbatas.
Lebih dari itu, pendidikan agama sebagai saranan pembentukan karakter luhur, membutuhkan figur keteladanan (uswah hasanah). Tanpa itu, pendidikan agama akan kering dan hambar.
Sayangnya, tambah Kiai Tholchah, keteladanan justru mulai langka di sekolah. Guru agama bahkan tidak mampu menjadi teladan di sekolahnya. Banyak guru agama yang minder di sekolahnya, dan merasa lebih rendah di banding guru lain.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Sumber : Kementerian Agama
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
Terkini
Lihat Semua