Nasional

Kiai Said: Sikap Tawasuth Butuh Kecerdasan

NU Online  ·  Jumat, 6 Januari 2017 | 06:24 WIB

Jepara, NU Online
Kembali Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, tawasuth atau sikap moderat yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama (NU) membutuhkan kecerdasan. Mengapa tidak? Ada dua pilihan, jika tidak ekstrim kanan, ya ekstrim kiri. Umumnya mereka hanya menunjukkan Islam secara simbolik, bukan memahami Islam secara substantif. 

“Ekstrim kiri asal bisa ngomong shalat tidak wajib, membolehkan LGBT, agama tidak usah disosialisasikan juga sudah pantas jadi aliran kiri,” papar Kiai Said saat memberikan kuliah umum di Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara, Kamis (5/1) sore. 

Jika hanya memilih dua pilihan itu, menurutnya, terbilang mudah. Tetapi memilih jalur tawasuth harus cerdas, pinter, dan jenius. 

Diceritakan kiai 63 tahun itu, saat Imam Syafii menerima surat dari Gubernur Asia Tengah Abu Mawar al-Mahdi perihal memahami agama, Syafii lantas memerintahkan muridnya Rabi bin Sulaiman al Muradi untuk membalas surat dari gubenur. Sekarang risalah sepanjang 300 halaman popular dengan kitab ar risalah. 

Di dalam risalah tersebut, kata kiai Said dituliskan dalam memahami agama dibutuhkan 3 bayan. Bayan illahi, quran kemudian bayan nabawi yang berupa hadits serta bayan aqli (ijma dan qiyas). 

Di samping Imam Syafi’i, lanjut  kiai yang dibesarkan di pesantren Kempek Cirebon itu juga mmenyebut Imam Abu Hasan al Asyari (tawasuth akidah) dan Imam Ghazali (tawasuth hakikat dan syariat). 

Di Indonesia tegasnya, ada KH Hasyim Asyari yang menggabungkan Islam dan nasionalisme sejak 1914. “Kalo hanya Islam saja jadi radikal. Nasionalisme saja jadi sekuler,” imbuhnya. 

Menurutnya, hanya Mbah Hasyim yang berani memprokamirkan hubbul wathan minal iman. Karena itu, ia berpesan kepada ratusan hadirin agar mengedepankan wathaniyah, kebangsaan dulu. 

Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah hijrah ke madinah agar punya tanah air. Jika bangsanya tidak stabil akan susah mengurus madrasah, kampus, perekonomian dan lain sebagainya. “Jika negara sudah stabil setelah itu baru islam yang diperjuangkan,” pungkasnya. (Syaiful Mustaqim/Fathoni)