Nasional

Kiai Ma'ruf: Perbedaan Ditoleransi, Penyimpangan Wajib Diamputasi

NU Online  ·  Ahad, 28 Januari 2018 | 06:30 WIB

Kiai Ma'ruf: Perbedaan Ditoleransi, Penyimpangan Wajib Diamputasi

Rais Aam PBNU, KH Ma'ruf Amin

Bekasi, NU Online
Dalam Islam, ada beberapa kelompok yang memiliki cara berpikir keagamaan dengan sangat tekstual, harus sesuai dengan teks dan statis. Kalau tidak demikian, maka dianggap menyimpang. Semua pihak yang berseberangan, diklaim bidah. Kalau bidah, otomatis masuk neraka.

Hal tersebut disampaikan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maruf Amin saat ceramah dalam rangka memperingati Haul ke-15 KH Dawam Anwar, Pendiri Pondok Pesantren Yayasan Perguruan el-Nur el-Kasysyaf (Ponpes Yapink), Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Sabtu (27/1) malam.

Ia mengatakan bahwa Imam al-Haramain pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Syari'at tidak hanya berasal dari teks (Al-Quran dan Hadits). Namun, juga ada yang berdasarkan ijtihadiyah. Sebagian besar hukum-hukum Islam merupakan hasil dari ijtihad para ulama. 

"Dari dulu, teks Al-Qur’an dan hadits tidak pernah bertambah. Teks itu sangat terbatas sekali. Sementara permasalahan-permasalahan di dunia, khususnya bagi umat Islam, tidak terbatas. Sehingga membutuhkan fatwa dari hasil ijtihad ulama. Teks Al-Quran dan hadits, sangat tidak mencukupi," katanya.

Maka itu, lanjutnya, di Majelis Ulama Indonesia (MUI) terdapat Komisi Fatwa. Di NU ada Lembaga Bahtsul Masail. Kemudian, di Muhammadiyah disebut Majelis Tarjih. Kesemuanya itu, menjawab berbagai persoalan keumatan. Ia mengimbau agar masyarakat tidak jumud. Sebab, sikap jumud merupakan awal dari kebodohan.

"Para ulama di Indonesia dihadapkan pada sebuah permasalahan yang harus dihadapi. Yakni, fanatisme kelompok atau ashabiyyah jama'iyyah. Yaitu kelompok yang tidak sejalan dengannya akan dianggap kafir. Dalam bahasa agama, kelompok itu dinamakan kelompok takfiri. Bahasa kekinian, disebut intoleran," ungkap Ketua Umum MUI itu. 

Pada kasus itu, lanjutnya, MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa perbedaan pendapat harus dibarengi dengan sikap tasamuh. Yakni, toleransi. Karena di lingkungan umat Islam sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan yang disebabkan oleh tradisi ijtihad. 

"Namun, perbedaan yang wajib ditoleransi adalah yang memang berada pada wilayah perbedaan (ikhtilaf). Di luar itu, akan disebut sebagai penyimpangan. Seperti kasus Lia Eden, Ahmadiyah, Ahmad Musadeq, Dimas Kanjeng, dan lain sebagainya. Kalau perbedaan harus ditoleransi, kalau penyimpangan wajib diamputasi," tandasnya. (Aru Elgete/Kendi Setiawan)