Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan bahwa penyebab konflik sejak zaman Rasulullah SAW wafat kemudian digantikan khalifah demi khalifah tidak lepas dari politik. Menurutnya, mungkin ila yaumil qiyamah.
“Kegaduhan, pertumpahan darah, permusuhan, diskriminasi itu tidak lepas dari politik,” ujarnya saat memberikan tanggapan saat halaqah yang digelar oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) di Gedung PBNU Jakarta, Selasa (17/4).
Ia menyoroti tidak sedikitnya orang-orang Islam yang menjadikan agama sebagai alat politik. Bahasa lainnya adalah mempolitisir agama demi kepentingan kekuasaan politik praktis.
Kiai Ishom menyatakan perlu dicari referensi bahwa agama hanya mengajarkan etika termasuk dalam berpolitik, atau juga mengajarkan politiknya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung itu juga menyampaikan bahwa ada sebagian umat Islam yang masih tidak mau menerima qanun al-wadli, undang-undang buatan manusia.
Undang-undang buatan manusia ini, menurutnya, selalu dihadapkan dengan Al-Qur’an dan hadis. Artinya, dalam pandangan mereka, undang-undang buatan manusia mutlak tidak bisa diterima.
“Oleh karena itu ada istilah undang-undang buatan manusia itu thogut,” ujarnya.
Kiai asal Lampung itu menegaskan, solusinya adalah umat Islam di seluruh dunia harus menerima hukum negara yang dihasilkan oleh proses-proses politik yang sah. Hal itu dilakukan guna terwujudnya perdamaian.
Kiai Ishom juga sepakat dengan Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf terkait larangan diskriminasi terhadap non-Muslim. Hal itu justru akan berakibat munculnya anggapan rendahnya umat Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, semua perbedaan identitas pada diri manusia tidak diperkenankan menjadi alat untuk mendiskriminasi siapapun. Meskipun dia non-Muslim ataupun sebaliknya, dia beragama Islam.
“Maka apabila semua ini dilaksanakan, mudah-mudahan dunia menjadi lebih aman dan lebih berperadaban dan bermartabat,” harapnya. (Syakir NF/Fathoni)