Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama sejak dalam pendiriannya berkecimpung dalam urusan politik. Namun, sejak tahun 1983 lalu, NU secara organisasi menetapkan untuk kembali menjalankan politik kebangsaan.
"NU menjalankan politik kebangsaan lagi sampai sekarang," ujar KH Ghazalie Masroeri, Katib Syuriyah PBNU 1984-1989, kepada NU Online di gedung PBNU lantai 4, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu (8/8).
Kiai Ghazalie mencontohkan politik kebangsaan itu seperti antikolonialisme yang dilakukan oleh para ulama dahulu. Lebih rinci, ia menyebut pelarangan menggunakan dasi itu sebagai salah satu langkah politik kebangsaan.
Kiai asal Jawa Tengah itu juga dengan tegas mengatakan politik kebangsaan itu tidak memberikan dukungan terhadap siapapun. "Tidak boleh menyatakan pilihan terhadap calon," ujarnya.
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Falakiyah (LF) NU itu tidak memungkiri adanya dinamika perpolitikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Pada pendiriannya, NU tidak berpolitik praktis. Namun seiring perkembangan, NU memasuki hal tersebut. Lalu, pada tahun 1983, NU memutuskan untuk memulihkan khittah NU, istilah Kiai Ghazalie menyebut kembali ke khittah, sebagaimana pada pendiriannya dahulu dalam pilar politiknya, yakni politik kebangsaan.
"Politik yang digeluti NU itu situasional, kondisional, dan prioritas utama zamannya," katanya.
Kiai yang pernah aktif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dua periode itu menegaskan bahwa NU didirikan di atas pondasi Ahlussunnah wal Jamaah dengan pancangan tiga pilar, yakni politik, pendidikan, dan ekonomi. (Syakir NF/Kendi Setiawan)