Nasional

Khutbah Jumat Seharusnya Diisi Anjuran Takwa, Bukan Caci-Maki

NU Online  ·  Rabu, 23 November 2016 | 12:30 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali mengajak para khatib Jumat untuk menjaga nafsu bicara agar tidak keluar dari pesan-pesan ketakwaan. Ia menganjurkan para khatib untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran agama yang menyejukkan.

Demikian disampaikan Kiai Moqsith kepada NU Online di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (21/11) malam.

Ia menambahkan, para ulama sudah membuat rukun khutbah. Salah satunya adalah wasiat takwa. Wasiat taqwa kepada Allah disampaikan agar umat mengerti kewajibannya kepada Allah, mana yang fardhu ‘ain dan mana yang fardhu kifayah.

Wasiat takwa, menurutnya, disampaikan agar umat Islam mengetahui perintah sesuatu yang harus dilakukan dan perintah sesuatu yang harus ditinggalkan.

“Karena khutbah itu berisi wasiat taqwa maka seharusnya khutbah diisi dengan diksi atau pilihan kata yang menyejukkan. Kalaupun ada provokasi, maka khutbah berisi provokasi agar umat bertakwa kepada Allah, bukan melontarkan caci-maki terhadap kelompok lain apalagi umat Islam,” jelas salah seorang dosen pengampu mata kuliah tafsir di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Ia mengakui bahwa pada satu fase di masa Daulah Umawiyah umat menjadikan mimbar Jumat sebagai arena caci-maki terhadap kelompok lain. Masing-masing aliran dalam Islam mencaci-maki aliran lawannya. Demikian sebaliknya secara bergantian.

Ketiak Khalifah Umar bin Abdil Aziz berkuasa, ia menyaksikan dengan gerah suasana khutbah Jumat seperti ini. Ia kemudian menambahkan susunan khutbah. Ia mengakhiri khutbah lewat kutipan Al-Quran, “Innallâha ya’muru bil ‘adli wal ihsân”.

“Ini baru dimulai di era Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Ini artinya orang yang menyampaikan khutbah itu harus adil dan menyampaikan kebaikan. Sejak saat itu khutbah tidak lagi berisi caci-maki sesama umat Islam,” kata Kiai Moqsith. (Alhafiz K)