Nasional

KH Salahuddin Wahid dan Usahanya Membangkitkan Sains di Pesantren

Sel, 12 September 2023 | 09:00 WIB

KH Salahuddin Wahid dan Usahanya Membangkitkan Sains di Pesantren

Almarhum KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. (Foto: tebuireng.co)

Jombang, NU Online

11 September 1942, lahir seorang bayi lelaki dari pasangan KH Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Solihah. Bayi tersebut kemudian diberi nama Salahuddin Al-Ayyubi. Kelak ia menjadi aktivis HAM dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng tahun 2006-2020.


Semasa kecil, waktu Salahuddin banyak dihabiskan di Pesantren Denanyar, Jombang, tempat tinggal kakeknya dari garis ibu, KH Bisri Syansuri. Pada tahun 1947 Salahuddin pindah ke Tebuireng. Menyusul wafatnya Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan pengasuh Tebuireng digantikan KH Wahid Hasyim. Selanjutnya pada awal tahun 1950, ketika ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama, Salahuddin ikut pindah ke Jakarta.


Salahuddin kembali menetap di Tebuireng tahun 2006 untuk menjadi pengasuh ketujuh Pesantren Tebuireng. Tebuireng di era KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) banyak melakukan terobosan baru. Salah satunya pada 24 Agustus 2014, Tebuireng resmi membuka Sekolah Menengah Atas (SMA) Trensains (Excellence in Qur’an and Science).


Berdirinya lembaga pendidikan ini dilatarbelakangi adanya keinginan luhur Gus Sholah untuk mencetak generasi yang unggul dalam bidang sains kealaman, yaitu generasi yang dapat menjadikan Al-Qur'an sebagai basis epistemologi dalam pengembangan sains, dan juga generasi yang memiliki kedalaman filosofis serta keluhuran akhlak.


Untuk itu, Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Prof Agus Purwanto, ilmuwan bidang fisika teoritik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Trensains kemudian diresmikan oleh Menteri Agama KH Lukman Saifuddin.


“Sebenarnya ulang tahun Trensains 24 Agustus, tapi baru bisa diperingati hari ini,” kata Prof Agus saat Harlah ke-9 Trensains di Pesantren Tebuireng 2, Jombang, Sabtu (26/8/2023) seperti dikutip dari akun youtube Trensains Channel.


Bila melihat latar belakang Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH M Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan latar belakang Prof Agus Purwanto yang merupakan kader Muhammadiyah sejati, banyak yang kaget ketika pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid melakukan kerja sama pendirian Trensains dengan Prof Agus Purwanto.


“Trensains terdiri dari dua kata, pesantren dan sains. Bukan sekadar sains masuk pada kurikulum. Lebih dari itu yaitu interaksi antara agama dan sains. Santri juga diajarkan pengantar filsafat,” jelas Agus.


SMA Trensains didirikan di atas lahan seluas 4 hektar, pada tahun ajaran baru 2014, Trensains telah menerima sebanyak 120 siswa. SMA Trensains sendiri merupakan penggabungan sistem pendidikan agama dan sains yang selama ini masih belum ada. Trensains didesain khusus dan berkonsentrasi pada sains dengan berbasis pemahaman dan nalar ayat-ayat semesta.


Sesuai dengan namanya, Gus Sholah ingin lembaga pendidikan ini menerapkan konsep “Trensains” dalam penyelenggaraan pendidikannya. Trensains merupakan konsep pesantren yang disintesakan dengan Sekolah Menengah Umum yang bertujuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan kealaman mendalam secara baik melalui pembelajaran, penelitian ilmiah maupun percobaan-percobaan ilmiah yang mengacu pada 800 ayat kauniyah. 


Sementara itu, jika dilihat dari konsep sekolah, lembaga pendidikan ini merupakan sekolah yang tidak menggabungkan materi pesantren dengan ilmu umum sebagaimana pesantren modern. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman Al-Qur'an, Hadits, dan sains kealaman (ilmu alam) serta interaksinya. 


“Interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas Trensains yang tidak ada di sekolah-sekolah di pesantren modern,” kata Prof Agus.


Keinginan Gus Sholah membangkitkan sains di pesantren dikarenakan membaca fakta sejarah masa lalu, Islam memiliki pengaruh yang luar biasa dalam bidang sains. Ahli sejarah menyebut, Islam memiliki peradaban gemilang yang dikenal dengan the golden age (masa keemasan Islam) dalam bidang sains dan teknologi.


Sebut saja al-Khawarizmi, sang penemu angka nol dan algoritma yang menulis buku al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (Kompendium tentang hitung al-Jabar dan persamaan) di tahun 850 M. 


Dalam Fisika, ada Ibnu Haitsam/al-Hazen di tahun 1039 M yang meneliti optika dan menuliskannya dalam Kitab al-Manazir (Kamus Optika) sebanyak 7 jilid yang membantah teori Aristoteles serta Ptolemaeus yang akhirnya juga mempengaruhi temuan Keppler, Roger Bacon dan Leonardo Da Vinci belakangan.


Sayangnya, hal tersebut makin tenggelam. Tokoh-tokoh ilmuwan Islam justru tenggelam digantikan tokoh barat yang muncul sesudahnya.


“Melihat fenomena ini, KH Salahuddin Wahid yang saat itu menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang merasa ingin kembali mengulang kejayaan itu dengan membuat Pesantren Sains, atau lebih dikenal dengan Trensains,” ujarnya.


Di tahun 2011, ide untuk membuat sekolah pun dimulai. Berbagai pembicaraan tentang pendirian sekolah, konsep hingga kurikulumnya mulai dibahas. Bahkan, Gus Sholah sudah merencanakan akan memulai sekolah di tahun 2013.


Ide itu bersambut ketika, tokoh yang akrab disapa Gus Sholah ini membaca buku Nalar Ayat-ayat Semesta (NAS) dan Ayat-ayat Semesta (AS) karangan Profesor Agus Purwanto. Dalam buku ini terdapat 800 ayat kauniah yang menjelaskan tentang sains keislaman.


Setelah membaca buku tersebut, Gus Sholah bertambah ingin membuat unit pendidikan yang bisa membangkitkan kembali kejayaan Islam. Dari situlah kemudian komunikasi Gus Sholah dan Prof Agus bermula.


Tahun 2012, calon guru dan calon tenaga administrasi Trensains dikumpulkan dan diberi buku NAS dan AS karya Profesor Agus untuk ditelaah.


Sekolah belum lagi berdiri, tapi calon guru sudah diberikan pokok-pokok bahan ajar yang nantinya bisa diberikan pada santri Trensains berdasarkan ayat-ayat kauniah yang terdapat pada buku NAS dan AS. Baik itu mengenai astronominya atau fisika teorinya, calon-calon guru diminta untuk menerapkan semua itu dalam kurikulum.


Kemudian Gus Sholah mengajak perwakilan guru untuk bertemu dengan Profesor Agus di RM Agis Surabaya. Berbincang tentang konsep sekolah yang diharapkan. Dari sana disepakati, Trensains yang didirikan harus berada level SMA.


Di tahun 2013 Trensains yang digadang siap menerima siswa nyatanya belum berdiri. Tim Trensains meminta bantuan ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yang memahami metodologi pembuatan kurikulum dan pedagoginya. “Trensains diharapkan bisa memberika warna baru di pesantren,” imbuhnya.


Pada akhirnya, kurikulum Trensain ada yang diadaptasikan dan ada pula yang dipadatkan. Untuk membuat kompetensi baru, semua ayat semesta yang ada di Matematika, Biologi, Fisika, kimia dicari dan disatukan. Kurikulum ini bernama kurikulum semesta.


Kurikulum semesta adalah bentuk unifikasi dari kurikulum nasional, internasional (perluasan), dan kurikulum Muatan Kearifan Pesantren Sains (MPKPS).


Mata pelajarannya disusun berdasarkan kompetensi kearifan Pesantren Sains yang terlembagakan dalam mata pelajaran astrofisika, filsafat sains, PAI (ulumul qur'an, tafsir), dan ALS (Al Qur’an dan Sains).


Menurut Prof Agus, ketertinggalan umat Islam dalam hal IPTEK tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah sepuluh abad silam. Saat itu, al-Ghazali berikhtiar menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (naqlı) yang sedang terancam oleh ilmu-ilmu rasional (aqli). Serangan al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah sangat telak dan efektif hingga saat ini.


“Setelah serangan tersebut, dunia Islam sunni melihat filsafat dengan penuh curiga bahkan dilarang di beberapa tempat,” kata Prof Agus.


Harapannya, dengan mendirikan SMA ini, kejayaan Islam akan kembali. Bahwa pesantren ini akan melahirkan scientist muslim yang tidak hanya cakap melainkan juga berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits.


Gus Sholah dan Prof Agus berharap umat Islam yang mayoritas muslim sunni pengikut kalam al-Asy'ariy menjadi tertarik pada ilmu pengetahuan khususnya fisika kuantum. Gagasan yang lahir di awal abad dua puluh di Barat ini ternyata mempunyai kesamaan dengan gagasan Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali.


“Gagasan kuantum bukanlah gagasan sekuler yang menjauhkan umat dari Allah, melainkan gagasan yang sesuai dengan teologi atau kalam al-Asy'ari,” tandas Prof Agus.