Nasional

Ketua Ma’arif NU Ungkap Ajaran Al-Qur’an untuk Peduli Disabilitas

Sab, 14 Agustus 2021 | 07:00 WIB

Ketua Ma’arif NU Ungkap Ajaran Al-Qur’an untuk Peduli Disabilitas

Ketua PP LP Ma’arif PBNU H Zainal Arifin Junaidi. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PP LP Ma’arif PBNU) H Zainal Arifin Junaidi mengatakan, agama sering dituding sebagai penyebab sikap abai para pemeluknya terhadap kaum disabilitas.


“Islam dianggap tidak cukup memberi arahan atau perintah untuk peduli disabilitas, kecuali dalam Al-Qur’an surat Abasa,” ungkapnya dalam zoominar Ngobrol Pendidikan (Ngopi) Mantap bertajuk Pendidikan Inklusi Gedsi di Indonesia, Membangun Pendidikan Ramah di Indonesia yang digelar oleh LP Ma’arif NU, Jumat (13/8) siang.


Arjuna, sapaan akrabnya, kemudian membacakan Surat Abasa yang artinya sebagai berikut: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang tunanetra telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?” (QS. Abasa: 1-4).


Sebagian besar umat Islam, lanjut dia, menganggap Surat Abasa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, khususnya pada ayat 1-4, hanya teguran kepada Nabi Muhammad saw. “Padahal teguran kepada Nabi Muhammad itu ya tentulah teguran bagi kita semua, umat Islam,” ungkapnya.


Tak hanya itu, tuntunan Al-Qur’an agar kita bisa bersikap adil terhadap kaum disabilitas. “Ada ayat yang secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas,” ungkapnya, dilanjutkan membaca Surat An-Nur: 61.


Stigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas, lanjut Arifin, mendorong rendahnya tingkat pendidikan mereka. Keluarga penyandang disabilitas cenderung tidak menyekolahkan anaknya. Jika para orang tua ini menyekolahkan, anak-anak tersebut akan mengalami perundungan sehingga mereka enggan menyelesaikan pendidikannya.


Sebelumnya, Arifin menyebut bahwa pada 2011 Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pada 2016, pemerintah juga mengesahkan UU Penyandang Disabilitas, yang mengakui hak penyandang disabilitas dan mewajibkan pemerintah untuk memberikan mereka perlakuan yang setara dengan non-disabilitas.


UU tersebut memperkenalkan pendekatan yang lebih adil terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, UU ini juga menggunakan pendekatan dengan melihat isu disabilitas dalam konteks yang lebih luas; tidak hanya sebagai masalah individu, tetapi juga sebagai hasil dari interaksi antara individual dengan lingkungan sekitar.


“Tapi sampai sekarang Indonesia masih belum melibatkan penyandang disabilitas secara memadahi dalam kehidupan masyarakat dan dalam proses pembangunan. Ini, antara lain karena proses pembangunan berakar pada stigma terhadap penyandang disabilitas dari publik dan pemerintah,” keluh Arifin.


Selain soal partisipasi, lanjutnya, hal lain yang menjadi kendala adalah, kita belum melaksanakan prinsip utama lainnya yaitu sikap tidak diskriminatif. Aksesibilitas harus ditegakkan dalam proses pembangunan untuk memastikan agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi.


Selain itu, masalah juga timbul akibat dari stigma masyarakat. “Penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi karena banyak orang memandang rendah mereka, yang menganggap mereka tidak mampu melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan, dikerjakan oleh orang yang bukan penyandang disabilitas,” sesalnya.


Pendidikan Inklusi
Mengenai problem ini, Arifin menyebut, salah satu solusinya adalah pendidikan inklusi. Dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang kemudian dijabarkan dalam Permendikbud No 70/2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik, dinyatakan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual ,dan atau sosial perlu memperoleh pendidikan khusus dan pelayanan pendidikan yang khusus.


“Nah, pelaksanaan pendidikan inklusi saat ini masih menghadapi sejumlah kendala dan tantangan,” ungkapnya sembari menyebut tiga hambatan. Pertama, pemahaman dan sikap yang belum merata di kalangan masyarakat tentang pendidikan inklusi.


Kedua, keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam memberikan layanan pendidikan kepada ABK. Ketiga, sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesibel (dapat dan mudah dijangkau, ed.) bagi ABK.


Dalam pandangan Arifin, pendidikan inklusi saat ini terkesan tidak menjadi primadona jika tidak mau dikatakan dipandang sebelah mata dari isu-isu pendidikan. Pemangku kepentingan lebih tertarik kepada sekolah normal dibanding dengan sekolah inklusi.


“Peran serta pemerintah daerah dan masyarakat sangatlah diharapkan. Mereka ABK juga bagian dari anak bangsa yang haknya dalam pendidikan dijamin undang-undang dasar,” ajaknya.


Selain membahas disabilitas, dalam pengantarnya, Arjuna juga mengulik soal Kesetaraan dan Keadilan Gender. Para narasumber ‘Ngopi Mantap’ ini adalah Repelita Tambunan yang mempresentasikan Konsep dan Prinsip Kunci GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) dalam Pendidikan, Hj Maria Ulfa Anshor (Komisioner Komnas Perempuan) yang menuntut disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebelum menyampaikan materinya Strategi Pendidikan Tanpa Kekerasan, dan H Syaiful Huda (Komisi X DPR-RI) yang bicara GEDSI dalam Perspektif Legislator. Acara ini diikuti pengurus LP Maarif NU dari berbagai level kepengurusan, kepala sekolah, dan peserta umum.


Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Musthofa Asrori